Happy reading :)
***
Sejak menginjak masa baligh hingga kini, baru kali ini Mahmud berdiri sedekat ini dengan perempuan. Bukan cuma berdiri bahkan, tapi perempuan itu memeluknya erat. Perempuan yang tak lama lagi mungkin ada dia nikahi. Lebih tepatnya, terpaksa dia nikahi.
Dada Mahmud berdegub kencang. Saking berkali-kalinya, menelan ludah sudah seperti minum saja. Mana Astri tak juga melepaskan pelukannya, padahal kaus Mahmud sudah basah semua bagian depannya. Hendak meminta tolong pada ibu untuk mengambil alih posisinya, tapi ibunya sendiri sedang menenangkan Bu Prawiro yang shock dengan kenyataan bahwa anaknya sudah jatuh terlalu dalam pada kubangan dosa.
"Nas, sudah, Nas. Kausku sudah basah semua," bisik Mahmud.
"Aku nggak nyangka, dia yang kukira baik ternyata sejahat itu." Astri sesenggukan, tanpa sedikitpun mengubah posisinya.
"Aku juga sudah bilang, kan, nggak ada laki-laki baik yang tega menggauli perempuan sebelum mengikatnya dalam pernikahan." Mahmud merasa menang atas pendapatnya. Meski itu berarti dia harus siap menikahi perempuan yang masih bertahan untuk memeluknya.
"Terus aku harus gimana?" Astri melonggarkan dekapan, menatap memelas pada mata Mahmud.
Kesempatan. Mahmud menjauhkan Astri dari dirinya. Saking tak keruan hatinya, dia ibarat nyaris kembung karena kebanyakan menelan ludah, ditambah ketegangan yang luar biasa karena dipeluk oleh gadis cantik yang bukan siapa-siapanya.
"Kowe kudu nikah karo masmu. Wis gak ono pilihan liyane. Pokoke gelem ora gelem, kudu! (Kamu harus menikah dengan masmu. Sudah nggak ada pilihan lainnya. Pokoknya mau nggak mau, harus!)," seru Bu Prawiro, matanya berkilat penuh amarah dan kekecewaan.
"Tapi, Bu ...."
"Ya Allah Gusti, Astriii. Masih tetap mau menolak? Kenapa yang kamu pikir cuma dirimu sendiri, Nduk? Kenapa?! Astaghfirullah." Bu Prawiro tumbang, kehilangan kesadaran.
Dengan sigap Mahmud dan ibunya membawa dan membaringkan Bu Prawiro ke bale-bale. Ibu Mahmud segera menyuruh anaknya mengambil kayu putih, lalu air minum hangat. Astri cuma duduk di sebelah ibunya sambil menangis.
"Nas, ke sinilah, ngobrol sama aku. Ibumu biar sama ibuku, insya Allah sebentar lagi siuman," ajak Mahmud sembari bersiap keluar dari ruangan.
Astri memandang ibu Mahmud seolah bertanya harus bagaimana. Ibu Mahmud mengangguk, seakan berkata iya, nggak apa-apa. Astri lalu mengikuti Mahmud menuju ke teras, duduk berdua di tengah hawa sejuk pada ketinggian kota Batang. Matahari semakin meninggi, memberi kehangatan pada dua manusia yang sama-sama sedang bertarung dengan ego masing-masing.
Mahmud mencoba berdamai dengan hatinya, karena hampir pasti dia harus menikahi Astri. Memupus semua cita-cita dan harapan, khususnya tentang Azizah. Juga menerima keadaan Astri meski dengan sangat berat hati.
Astri berusaha mencari sisi baik dari keputusan ini. Bahwa yang selalu ada dan menerima apapun kondisinya hanyalah ibu dan bapaknya. Mestinya harus bersyukur, dijauhkan dari seseorang yang telah merusak masa depannya. Dan merasa beruntung, karena ada laki-laki yang bersedia menikahi dengan keadaannya yang sudah tidak suci lagi.
"Kadang saking sayangnya Allah sama hamba-Nya, Dia mengajak kita bercanda, Nas. Ya, seperti kita ini. Aku yang begitu menjaga pergaulan, tiba-tiba diminta menikahi kamu yang salah pergaulan. Kamu yang dari kecil kesal sama aku, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan akan hidup setiap hari sama aku."
"Mas pede banget, sih. Ngarep banget aku mau nikah sama Mas. Hih, males."
"Oh, jadi kamu nggak mau nikah sama aku? Ya aku bersyukur banget malah. Alhamdulillah. Kalau kamu kira aku berharap banget menikah sama kamu, kamu salah, Nas. Aku sudah punya rencana masa depan sendiri, bahkan melibatkan orang lain. Tapi yang aku punya saat ini cuma ibuku, Nas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...