35. Drama Belum Berakhir

3K 341 43
                                    

Happy reading :)

***

Fais bergegas menuju ruang rawat inap yang disebut oleh bapak mertuanya. Mahmud mengikuti saja, hendak berpamitan pada yang lainnya. Menurutnya, kondisi Azizah sudah cukup untuk menghentikan semua drama ini.

Sampai di rumah, Astri sudah menunggu dengan gelisah. Maka begitu Mahmud tiba, dia memeluk erat-erat dengan mata basah.

Mahmud merangkul Astri ke ruang tengah, hendak bersalaman dan mencium tangan ibunya. Kemudian meminta izin untuk ke kamar berdua. Di sana, Astri kembali membenamkan wajahnya di dada Mahmud.

"Lancar, Mas?" tanya Astri setelah puas memeluk sang suami.

"Alhamdulillah lancar, Nas. Kenapa nangis?"

"Aku cuma nggak tahu, apakah setelah ini Mas masih akan sama aku atau nggak."

"Ngomong apa sih, Nas?"

"Gimana Azizah? Dia pasti minta cerai dari suaminya kan, setelah tahu kalau dia pernah menghamili perempuan lain? Apalagi perempuan itu adalah aku, orang yang sudah merusak impian indahnya untuk menikah dengan orang sebaik Mas Aam.

"Nggak apa-apa, Mas. Kalau memang Azizah maunya seperti itu, aku ikhlas, Mas. Kehilangan Mas Aam pasti akan sangat berat. Nggak cuma buat aku, tapi juga buat bapak, ibu, dan Farhan. Tapi aku yakin, kami semua pasti bisa, yang penting Mas bahagia. Udah hampir dua tahun ini Allah kasih aku bahagia karena punya Mas.

"Aku melakukan dosa besar, tapi Allah kasih aku kebahagiaan yang lebih besar. Mungkin sekarang Allah mau mengambilnya lagi, sebagai hukuman atas dosa-dosaku dulu. Aku nggak apa-apa, Mas. Aku ikhlas." Astri terus bicara sambil menangis hingga tersengal-sengal.

"Nas, kamu ini ngomong apa, sih? Tenang dulu, aku nggak mau kamu kebablasan sesak napas lagi seperti dulu."

"Karena Mas tahu kan, kalau aku sesak napas lagi, udah nggak ada Mas yang akan sigap nolongin aku, nemenin aku di rumah sakit, dan semuanya, seperti yang selalu Mas Aam lakuin ke aku dulu. Tapi aku nggak apa-apa kok, Mas. Beneran, aku nggak apa-apa. Aku nggak akan sesak napas lagi, aku nggak akan sakit-sakit lagi, aku nggak akan manja lagi. Soalnya aku udah nggak punya Mas. Tapi aku nggak apa-apa. Aku ikhlas. Beneran aku ikhlas."

Sungguh, Mahmud terenyuh sekali melihat keadaan Astri. Dia bahkan belum sempat bicara, tapi Astri sudah memberondong dengan ungkapan kekhawatiran yang sama sekali tak terlintas dalam pikirannya.

"Nas, tenang, Nas. Semua yang kamu katakan itu cuma kekhawatiran yang berlebihan. Nggak seperti itu kejadiannya, Nas. Rencana masa depanku pun sama sekali nggak berubah setelah ketemu Ning Azizah tadi. Aku tetap akan denganmu, dengan Farhan, dengan orang tua kita. Kamu jangan nangis gitu, dengarkan aku dulu."

Direngkuhnya Astri ke dalam dekapan. Di luar kamar yang pintunya tak tertutup, ibunya mendengarkan dengan air mata yang juga berderai-derai.

"Aku ada kabar, tapi aku nggak tahu kamu akan senang atau malah sedih dengarnya."

"Kabar apa, Mas?" Astri penasaran.

"Oh iya, aku minta maaf dulu sebelumnya. Tadi aku terpaksa mengatakan yang sebenarnya tentang alasan pernikahan kita dulu. Tapi tenang aja, Nas, insya Allah beliau semua orang yang bisa dipercaya."

"Iya, tapi kabar apa yang Mas nggak tahu aku akan senang apa sedih dengarnya, tadi?" Astri merajuk manja, dengan sisa-sisa air mata yang belum mengering sepenuhnya. Mahmud malah jadi gemas. Dipandanginya Astri dengan senyuman, yang dipandangi jadi makin tak sabaran.

"Mas, please deh. Aku marah kalau kelamaan."

"Aku sayang kamu, Nas. Aku bangga punya kamu. Kamu orang yang konsisten, yang kalau bicara selalu sesuai dengan kenyataan. Walaupun untuk ekspresi dan reaksi kamu masih sering nggak istiqomah. Kayak gini ini, baru habis nangis, sekarang udah cemberut, merajuk. Gimana aku bisa ninggalin kamu, Nas? Hidupku lebih berwarna sejak sama kamu."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang