Happy reading :)
***
Setelah hampir dua jam perjalanan yang diisi dengan saling diam, mobil berhenti di halaman rumah ibu Mahmud. Pukul sembilan lebih sedikit, tetapi suasana sekitar sudah sangat sunyi. Dingin yang menusuk tulang membuat jangkrik pun enggan berderik.
"Di luar dingin banget, Nas. Kamu tunggu di mobil dulu aja sampai ibu bukain pintu," saran Mahmud.
"Nggak mau. Di sini gelap. Aku takut sendirian." Mahmud menggeleng heran, lalu beralih ke sisi kiri untuk membukakan pintu dan membantu Astri keluar. Setelahnya dia menurunkan semua barang bawaan.
Mahmud mengetuk pintu. Menunggu hingga agak lama, namun tak jua terbuka. Astri sudah gelisah, berkali mengatakan kalau dia khawatir Farhan akan kedinginan. Dia juga bilang kalau dia sudah sangat mengantuk. Astri berbohong. Mana bisa mengantuk kalau hatinya dilanda ketegangan yang luar biasa begitu?
"Mas nggak bilang ibu to, kalau mau ke sini?"
"Nggak."
"Kalau ibu nginap di rumah orang tuaku, gimana?"
"Nggak ada kepentingan khusus, jadi ibu pasti nggak nginap di sana."
Pendapat Mahmud tepat. Setelah lebih dari sepuluh menit menunggu, akhirnya ibunya membukakan pintu. Matanya masih kriyip-kriyip. Di pipi kirinya tercetak pola anyaman dari kursi rotan.
"Maaf ya, Bu, Aam ganggu malam-malam. Ibu ketiduran di kursi, ya?" Mahmud terkekeh. Dibelainya pipi ibunya, mengusap pola anyaman yang ada di sana.
"Ono opo iki, kok bengi-bengi mrene? Kok gak turu nang nggon Pak Prawiro?" sambut ibunya.
(Ada apa ini, kok malam-malam ke sini? Kok nggak tidur di rumah Pak Prawiro?)"Nggak apa-apa, Bu. Aam naruh barang-barang dulu ya, Bu. Astri udah ngantuk katanya."
"Yo mengko dhisik, spreine tak gantine sik. Wong meh mrene kok gak omong-omong lho. Nek weruh yo tak cepakke sik, dadine geri turu o thok. Gek Astri karo Farhan iso opo ora turu nang kasur atos ko kui?" Ibunya mengomeli Mahmud.
(Ya nanti dulu, spreinya diganti dulu. Lagian mau ke sini kok nggak bilang-bilang lho. Kalau tahu kan ibu siapkan dulu, jadi tinggal tidur saja. Itu Astri sama Farhan bisa apa nggak tidur di kasur yang keras kayak gitu?)"Nggak apa-apa, Bu. Aku tidur di mana aja bisa kok, asalkan sama anaknya Ibu." Sahutan Astri membuat Ibu Mahmud terkekeh, ditepuknya pipi si menantu. Mahmud mencebik melihatnya. Astri memang selalu bisa meluluhkan hati ibunya.
Mahmud beriringan dengan Astri masuk ke kamar. Disuruhnya Astri menemani Farhan saja dan bersegera tidur, dia akan bicara berdua dengan ibunya. Astri mengiyakan. Sesaat kemudian dia sudah terlihat pulas, tapi bohong. Rumah mertuanya tidak besar, dindingnya pun dinding papan. Tentu saja dia sudah berencana untuk mencuri dengar.
Di meja makan, Mahmud berbasa-basi sambil minum teh panas bikinan ibunya. Singkong rebus yang sudah dingin masih tersisa setengah di piring seng bermotif bunga sepatu. Bimbang mendadak datang, akan melanjutkan atau membatalkan saja niatnya untuk berterus terang.
"Piye, Am? Ono opo?"
(Gimana, Am? Ada apa?)"Emm...."
"Ojo ngomong nek ora ono opo-opo (Jangan bilang kalau tidak ada apa-apa). Kamu nggak mungkin pulang malam-malam dan memilih tidur di sini kalau tidak ada sesuatu yang ingin kamu bagi kepada ibu. Ada apa?" Pertanyaan pamungkas. Kalau sudah begini, Mahmud tidak bisa berubah pikiran lagi.
Mahmud berdiri dan berpindah ke bale-bale bambu di depan kamarnya, mencari tempat yang nyaman untuk membagi kesahnya. Ibunya mengikuti, duduk bersisian dengan sang putra semata wayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...