8. Pupus

2K 324 13
                                    

Happy reading :)

***

Mobil bertipe hatchback warna abu-abu tua meluncur menyusuri jalan desa, lalu memasuki jalan kecamatan, dan terus melaju hingga tiba di jalan raya provinsi yang termasuk jalur pantura. Kampung halaman Mahmud letaknya cukup jauh, sekitar 50 km dari pusat kota Kabupaten Batang. Sedangkan tujuan perjalanannya kali ini lebih jauh lagi, tepatnya di wilayah Kota Pekalongan, di mana pondok pesantren tempatnya menimba ilmu berada.

Tujuh tahun dia habiskan hidupnya di sana. Hampir lima tahun di Mesir juga tak pernah putus kontak dengan almamaternya. Ditambah lagi dia diminta untuk mengajar selepas lulus dan kembali ke tanah air. Tapi dengan adanya kejadian ini, Mahmud tak yakin dia masih akan diterima sebagai salah satu asaatidz di tempat di mana dia ingin mengabdi dan membagikan ilmu yang dia miliki.

Sedih sudah pasti. Impiannya tentang Azizah selangkah lagi pupus sudah. Harapannya untuk dapat mengajar di sana pun bisa jadi musnah. Yang bisa Mahmud lakukan hanya pasrah.

Doa yang ia ambil dari ayat kesepuluh surat Al Kahfi ia lantunkan berulang kali, bergantian dengan ayat 25 hingga 28 dari surat Thaha.

Robbana atina min ladunka rahmatan wahayyi' lana min amrina rosyada.

Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami. (QS. Al Kahfi: 10)

Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.

Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku. (QS. Thaha ayat 25-28).

Hatinya menjadi lebih tenang. Ditanamkannya dalam hati bahwa yang akan dilakukan adalah suatu kebaikan. Walaupun saat ini masih terasa dipaksakan, namun Mahmud yakin, ia akan bisa menerima semuanya dengan lapang dada serta keikhlasan.

Gerbang pesantren sudah di depan mata. Mobil bernomor polisi - 457 RI itu memasuki halaman dengan perlahan. Jangan ditanya hati Mahmud, berdentum-dentum layaknya meriam Ottoman.

Kedatangannya disambut banyak orang. Salah satu santri senior membersamainya dari sejak area parkir hingga ruang pimpinan pesantren, lalu pamit setelah memastikan Gus Faqih, anak kedua Pak Kyai, menanti Mahmud di dalam.

Ruang ber-AC tak mampu meredam gerah dalam diri Mahmud. Dihelanya napas berkali-kali, tetap saja ketegangan mendominasi.

"Assalamualaikum, Gus," sapa Mahmud dengan ketenangan yang ia usahakan mati-matian.

"Waalaikumussalam, Mahmud. Apa kabar?"

"Alhamdulillah. Bi khair, Gus."

"Gimana? Ada kabar apa ini? Baru dua hari di rumah sudah kembali ke pondok. Nggak betah apa gimana?"
Mahmud cukup akrab dengan Gus Faqih, kakak laki-laki Azizah yang tertua. Gus Faqih bukan anak sulung, namun karena anak sulung Pak Kyai perempuan, maka Gus Faqih yang diserahi tugas melanjutkan kepemimpinan pesantren.

"Alhamdulillah, betah, Gus. Lama nggak merasakan udara gunung yang sejuk. Apalagi ada masakan ibu." Mahmud tersenyum lebar. Bagi lawan bicara, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun perbedaan.

Keduanya terlebih dahulu membahas banyak hal. Gus Faqih selalu merasa nyambung jika sudah bicara dengan Mahmud. Bagi beliau, Mahmud adalah salah satu sosok istimewa hasil didikan pondoknya. Gus Faqih juga yang mengusulkan kepada abahnya untuk menjadikan Mahmud bagian dari pengelola pondok, segera setelah Mahmud pulang dari Mesir, tanpa harus menunggu statusnya berubah sebagai adik ipar.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang