Happy reading.
***
Mahmud kembali ke desanya setelah hampir lima tahun menuntut ilmu di negeri seberang. Sebenarnya dia sudah sampai sejak sepekan lalu, tapi dia meminta izin pada ibunya untuk singgah ke pondok pesantren tempatnya belajar dahulu. Barang bawaannya cukup banyak, terutama kitab. Membawanya pulang ke desa rasanya agak sulit, jadi dia menaruhnya di pondok, sebab dia akan mengajar di sana. Mahmud pula hendak melaporkan kepulangannya, serta sowan pada asaatidz serta keluarga kyainya.
Lewat sedikit dari pukul empat sore, mobil pondok yang mengantarnya pulang ke desa berhenti di rumah yang Mahmud tunjukkan. Sesuai pesan ibunya, dia tak langsung pulang ke rumahnya sendiri, melainkan ke rumah keluarga Prawiro, orang terkaya di desanya sekaligus majikan ibunya.
Halaman rumah nan luas dengan bangunan rumah joglo khas Jawa itu terlihat lengang. Para pekerja sudah pulang sejak jam empat. Satu-satunya yang sering menginap di sana hanya ibu Mahmud, yang sudah seperti bagian dari keluarga tersebut. Dia telah ikut di sana sejak Pak Prawiro baru menikah dengan Aryati, sahabatnya.
Mahmud turun dari mobil, kemudian menurunkan sebuah koper besar dan ransel dari Avanza hitam. Mas Jauhari, sopir Pak Kyai, tak mau mampir dan langsung berpamitan, Mahmud pasrah saja tak bisa memaksa. Dia lalu melangkah menuju pintu utama. Baru akan mengucap salam, suara teriakan laki-laki terdengar dari dalam.
“Anak nggak tahu diuntung! Kamu mencoreng muka bapak dan ibu! Apa salah kami sampai kamu permalukan seperti ini?! Lebih baik bapak nggak punya anak saja! Lebih baik kamu mati saja! Mati!”
Lalu suara perempuan menimpali dengan teriakan yang tak kalah keras, “Jangan, Pak. Bagaimanapun, dia anak kita, Pak.”
Disusul suara satu perempuan lagi, “Sabar Pak.”
Itu suara ibunya. Mahmud segera meneriakkan salam dan berlari masuk tanpa menunggu jawaban dari tuan rumah. Dia tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi perasaannya mengatakan bahwa dia harus segera berada di dalam sana.
Pak Prawiro menggenggam erat sebuah vas bunga dari kaca tebal, bersiap memukul anak perempuan satu-satunya. Tanpa pikir panjang, Mahmud segera memiting pria 51 tahun itu, dan merebut vas bunga dari tangannya.
“Istighfar, Pak. Istighfar.”
“Aam!” Semua yang ada di ruangan itu memekikkan nama panggilannya.
“Maafkan Aam, Pak.”
Pak Prawiro memeluk Mahmud saat itu juga, menumpahkan tangis di bahu pemuda yang sudah ia anggap sebagai anaknya. Tak berkata apapun, Mahmud hanya menepuk dan mengusap punggung beliau. Menahan sejenak kerinduan akan pelukan ibunya.
“Adikmu, Am. Adikmu hamil, Am. Ya Allah, Am, mau ditaruh di mana muka kami? Mau ditaruh di mana, Am?”
Bu Prawiro mendekat, turut memeluk suaminya dan menumpahkan tangis di punggungnya. Sedangkan ibu Mahmud mendekati anak gadis Pak Prawiro yang sejak tadi tak beranjak dari duduknya di atas karpet. Wajahnya yang cantik tampak kusut dan basah oleh air mata. Rasa bersalah dan ketakutan terpancar jelas dari kedua matanya.
“Maaf, Pak. Sebaiknya kita duduk dulu. Bapak dan ibu juga tenang dulu, perbanyak istighfar. Kita bicarakan dengan kepala dan hati yang dingin.”
“Ora iso, Am. Ora iso adem. Ngene iki piye, Ya Allah. Ujiane kok yo abot nemen. Astaghfirullah hal adzim.”
(Tidak bisa, Am. Tidak bisa adem. Begini ini gimana, ya Allah. Ujiannya kok berat sekali. Astaghfirullah hal adzim.)“Bapak masih mau marah? Monggo, marahlah dengan saya.” Mahmud mengajukan diri menjadi sasaran kemarahan Pak Prawiro.
“Bapak nggak bisa, Am. Bagaimana mungkin memarahi kamu, sedangkan kamu nggak punya salah apa-apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
BeletrieKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...