16. Seperti Perang Dunia

2.3K 334 18
                                    

Happy reading :)

***

Harinya tiba. Waktu untuk meninggalkan desa tinggal hitungan menit. Astri masih menangis di pelukan ibunya. Agak berlebihan memang. Selama ini setiap kali liburan di rumah dan harus kembali lagi ke Jogja, Astri tak pernah sesedih ini. Mungkin hormon kehamilan turut mengambil peran.

Astri masuk lagi ke kamar, memastikan semua bawaannya sudah dikeluarkan. Mahmud ada di sana, sengaja menunggu Astri.

"Kenapa nangis, Nas? Jangan bikin aku merasa bersalah membawamu ke sana. Dan jangan bikin ibu makin sedih untuk melepasmu ikut bersamaku."

"Aku nangis karena aku tahu, nanti pas di sana kalau aku sedih nggak ada yang meluk aku," ujar Astri. Datar, tapi tercium kuat aroma sindiran.

Sepekan lebih menikah, belum pernah sekalipun Mahmud memeluk Astri. Menyentuh saja bisa dihitung dengan jari. Bukan tak ingin, dia hanya menjaga diri agar tak kebablasan.

"Maafkan aku, Nas. Soal itu aku...."

"Iya, aku ngerti. Tapi kan aku nikah sama Mas, bukan sama karung beras.  Kita tuh suami istri, Mas, yang kubutuhkan bukan cuma kebaikan dan petuah-petuah dari Mas aja. Aku kan juga butuh perhatian, butuh disayang-sayang. Yang nggak boleh buat Mas kan cuma menyiram tanamannya orang lain. Kalau cuma pegang-pegang tanamannya ya boleh kali?!" Astri sewot.

Bagaimanapun dia pernah merasakan yang lebih dari sekadar sentuhan atau pelukan. Sesuatu yang memberinya kenikmatan hingga melenakan dan berujung terperosok pada kehinaan.

"Emm..., tentang boleh nggaknya, aku kurang tahu, Nas. Aku hanya tahu kalau tidak halal bagiku untuk menyiramkan airku pada tanaman orang lain, pada benih yang telah tumbuh di rahimmu. Itu saja. Selebihnya aku hanya berusaha sendiri, agar aku tak terjebak pada sesuatu yang bisa membuai kesadaran. Tapi...."

"Tapi apa?" sahut Astri tak sabaran.

"Emm..., tapi kalau itu bisa meyakinkan kamu untuk bahagia bersamaku di tempat yang baru, aku akan mencobanya, Nas."

Dengan tangan dan kaki yang mendadak tremor, Mahmud mendekat pada Astri. Menelan ludah berulang kali, sambil kedua lengannya terulur meraih bahu sang istri. Tiba-tiba....

Tok tok tok.

"Am, Nduk, wis siap opo durung? Mobile wis siap, yo. (Am, Nduk, sudah siap belum? Mobilnya sudah siap, ya)" Suara Bu Prawiro membuyarkan segalanya.

"I-iya, Bu. Ini, eh itu, emm..., s-sudah siap. Tunggu sebentar." Mahmud mendadak gagap. Bukan karena Bu Prawiro mengetuk pintu, tetapi karena anak Bu Prawiro yang tiba-tiba memeluknya sangat erat.

Mahmud mencoba menyambut pelukan istrinya. Balas mendekap Astri yang menumpahkan tangis di dadanya.

"S-sudah ya, Nas, ditunggu yang lain."

"Tapi Mas harus janji dulu." Pelukan merenggang, Astri menatap mata sang suami dengan sorot mata kekanakan.

"Insya Allah, jika itu tidak melanggar aturan-Nya, Nas."

"Mas harus sering-sering peluk aku. Karena di sana nanti aku cuma punya Mas."

Mahmud mengangguk saja, lalu menarik Astri kembali ke pelukannya. Memberanikan diri mengecup kepala gadis itu, dengan dada yang debarnya masih terus bertalu-talu.

***

Tiba di pondok, Mahmud langsung mengajak Astri untuk beres-beres rumah yang akan mereka tempati. Tak besar, tetapi lebih dari cukup untuk hidup berdua, tentunya secara sederhana.

Di sisi kiri terdapat dua kamar yang terletak bersebelahan, masing-masing berukuran 3x3 m² dan 3x2,5 m². Di sisi kanan terdapat ruang kosong yang membentang sepanjang ukuran dua kamarnya. Dapur dan ruang makan ada di belakang. Kamar mandi mungil bersebelahan dengan tempat mencuci yang sebagian atapnya dibuat dari fiber tembus pandang, sekaligus sebagai tempat menjemur pakaian. Tak ada halaman depan maupun belakang, semua serba tertutup, selain keterbatasan lahan, juga menjaga privasi para asaatidz dan pasangannya yang menjadi penghuni asrama khusus tersebut.

"Mas, aku capek." Baru menyapu separuh bagian rumah, Astri sudah berkeluh kesah.

"Ya sudah, kamu istirahat saja." Mahmud memaklumi. Berusaha husnuzon bahwa Astri begitu bukan karena malas, tetapi karena pengaruh kehamilan yang membuatnya lebih mudah lelah.

Dikerjakannya semua sendiri. Menyapu, mengepel, menaruh barang-barang yang mereka bawa pada tempat-tempat yang semestinya. Beberapa barang elektronik sudah mereka beli sebelum tiba di asrama pondok. Mesin cuci, kulkas, dan blender, tidak ada televisi. Semua urusan rumah Mahmud kerjakan tanpa sekalipun terdengar keluhan. Hanya sekali berhenti, itupun untuk mengerjakan salat asar di masjid pondok.

Menjelang maghrib rumah sudah terlihat rapi dan terasa nyaman. Meski sederhana, Mahmud menatanya dengan selera yang cukup baik.

"Nas, aku ke masjid dulu. Mungkin pulang setelah isya. Biasanya bakda maghrib suka ada yang setoran atau simakan, aku akan ikut bantu. Sayuran dan lain-lain yang ibu bawakan sudah kutaruh di kulkas, dapur juga sudah rapi, siap dipakai masak. Kita makan malamnya setelah salat isya ya, Nas. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum."

Tak ada kesempatan untuk menjawab, kecuali salam. Mahmud menghilang dengan segera. Astri bersungut-sungut, bergegas mengunci pintu. Protesnya terpaksa disimpan dulu sampai bakda isya.

Selanjutnya dia mencoba melihat, ada apa saja di kulkas. Astri terbelalak, isinya penuh dan rapi. Sayur mayur sudah disiangi dan dimasukkan dalam wadah-wadah plastik. Ikan dan daging pun sudah bersih semua. Ada pula frozen food yang --lagi-lagi-- sudah dikeluarkan dari kemasannya dan dipindah ke kotak-kotak plastik. Pekerjaan Mahmud sungguh rapi, serapi pekerjaan ibunya di rumah Astri.

Tetap saja Astri bingung mau masak apa. Bukan karena banyak pilihan, tapi karena dia tak bisa memasak apapun. Jangankan membuat sayur dan lauk pauk, memasak air saja dia nyaris tak pernah melakukannya.

Tangannya dengan lincah menggulir layar, mencari resep masakan paling mudah yang kira-kira bisa dia kerjakan. Matanya berhenti pada satu menu yang kelihatannya gampang. Nasi goreng bumbu iris.

Dua piring nasi, sudah tersedia di magic jar. Beberapa butir cabe, bawang merah, bawang putih, dan bawang bombay semua diiris asal saja. Astri menambahkan irisan bakso, lalu mulai memasukkan ke dalam wajan sesuai petunjuk di layar gawainya.

Sebagai pelengkap, Astri mencoba menggoreng nugget. Apinya kebesaran, nuggetnya terlalu coklat. Gadis itu kembali mengomel, betapa sulitnya pekerjaan rumah tangga. Tapi dia juga sadar diri, semua harus dihadapi karena kesalahannya sendiri.

"Assalamualaikum." Suara Mahmud sudah terdengar lagi. Astri bahkan tak merasa mendengar adzan isya. Padahal dapur masih seperti bekas perang dunia kedua.

"Waalaikumussalam," sahutnya sambil berlari ke arah pintu.

"Huhuhuu, aku nggak bisa masak. Susah banget. Aku mau pulang aja, mau ditinggal di rumah bapak aja."

Mahmud bingung. Baru masuk rumah sudah mendapat sambutan di luar dugaan.

"Ssstt, jangan keras-keras nangisnya. Ini ada apa, sih, Nas?"

Astri menarik Mahmud ke dapur. Melihat keadaannya yang porak poranda, Mahmud kembali bertanya, "Kamu habis ngapain, Nas?"

Astri ganti menarik suaminya ke meja makan, menunjukkan nasi goreng ala kadarnya bersisian dengan nugget yang terlalu matang di luar, tapi masih agak dingin di bagian dalam. Teh panas yang terlihat terlalu kental juga ada di atas meja.

"Terima kasih ya, Nas," kata Mahmud sembari meraih tangan istrinya.

"Mas ngejek ya?"

"Nggak sama sekali, Nas." Ketulusan terpancar di wajah Mahmud.

"Terima kasih kamu sudah mau bersusah payah masak buat kita. Nggak peduli gimana hasilnya, kemauan dan niat baikmu itu sudah sangat berarti buat aku. Kita makan sekarang, ya. Dapur dan lainnya biar nanti aku yang bereskan semua."

Astri kembali memeluk Mahmud. Menumpahkan air mata sekali lagi di dada suaminya yang penyabar. Kali ini bukan karena sedih, tapi karena rasa bahagia yang tak bisa tersampaikan lewat kata-kata.

***

Duh, si Nanas. Masak aja udah bikin dapur macam habis perang dunia kedua. Wkwk...

Udah mulai agak-agak manis nggak sih si Mahmud nih?

Baiklah. Sampai di sini dulu ya. Terima kasih untuk semuanya.

See you :)

Semarang, 24092021

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang