Happy reading :)
***
Waktu bergulir tanpa terasa. Genap empat bulan Astri dan Farhan tinggal di desa. Mahmud berencana membawa keduanya kembali ke kota. Keadaan dirasa sudah aman, kekhawatiran akan kedatangan laki-laki dari masa lalu tidaklah terbukti. Mahmud sendiri sudah merasa kesepian karena lebih sering di rumah sendirian. Tiga pekan terakhir ini dia bisa dua sampai tiga kali pulang ke kampung halaman, demi menuntaskan kerinduan pada anak dan istrinya.
Astri tentu saja senang. Berada di dekat suami membuat perasaannya jauh lebih tenteram, sekalipun potensi berkonflik juga jauh lebih banyak dibanding saat berjauhan.
Minggu pagi itu, Mahmud dan Astri berpamitan pada ketiga orang tua mereka. Astri sendiri yang meminta agar dia diberi kesempatan untuk mengatasi semua urusan sendiri. Urusan rumah, urusan anak, juga urusan dengan suaminya. Semua.
Pak Prawiro, Bu Prawiro, beserta ibunda Mahmud melepas anak dan cucunya dengan berat hati. Empat bulan membersamai tentu telah membentuk kedekatan dan ikatan yang kuat, terutama dengan Farhan, laki-laki kecil yang berhasil mengambil alih predikat kesayangan dari tangan ibunya.
Bagi kakek neneknya, Farhan adalah dunia mereka yang baru. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menimang sang cucu.
"Udah sih, Bu, jangan nangis. Katanya Ibu bahagia kalau lihat aku bahagia. Kenapa sekarang nangis? Padahal aku kan bahagia, nggak jauh-jauhan sama Mas Aam lagi." Tak malu-malu Astri mengakui. Kenyataannya, saat ini Mahmud menjadi seseorang yang menempati posisi paling penting baginya.
"Ibu nangis karena belum apa-apa sudah merasa kangen sama Farhan, kan? Aku udah nggak direken (dianggap) sebagai anak." Astri merajuk. Bu Prawiro menarik mulut anaknya sambil tertawa.
Keberangkatan Farhan dilepas dengan berat oleh kakek dan neneknya, terutama Bu Prawiro, yang melepas sang cucu deraian air mata.
Mereka tiba di Pekalongan sebelum tengah hari. Kedatangan Astri disambut pesan masuk di grup yang beranggotakan beberapa asaatidzah dan istri asaatidz dari pondok tempat Mahmud mengajar. Pertanyaan yang diajukan rata-rata sama, kapan mereka bisa bersilaturahim sekaligus menjenguk bayi Astri? Sebab dulu sebelum sempat berkunjung, Farhan keburu dibawa pulang ke kampung.
Dari obrolan di grup menghasilkan kesepakatan, beberapa perwakilan akan mengunjungi Astri ke rumah pada Senin sore. Astri mengiyakan dengan senang hati. Saat itu juga dia menghubungi katering langganannya untuk membantu menyediakan kudapan dan minuman besok sore.
***
Waktu yang ditentukan tiba. Mahmud yang biasanya tiba di rumah pukul lima, sore itu sengaja pulang lebih awal untuk menerima kunjungan. Beberapa assatidz turut bergabung mendampingi istrinya. Perbincangan ringan dan penuh kekeluargaan meramaikan kediaman Mahmud.
"Mbak Astri, kalau sudah sehat ikut kajian, to. Sekarang kajian yang akhwat pengisinya Ning Azizah lho. Beliau baru pulang dari Mesir. Cara penyampaiannya enak, keilmuannya bagus, tapi beliau juga nggak keminter. Kita yang biasa-biasa saja jadi merasa nggak insecure." Salah satu istri asaatidz memberi informasi sekaligus ajakan untuk Astri. Selain keluarga inti Pak Kyai, memang tidak ada yang tahu tentang rencana pernikahan yang pernah ada antara Mahmud dengan Azizah.
Ada yang terbakar di dalam dada Astri. Cemburu. Dia tahu persis siapa Ning Azizah. Rasanya sudah tak sabar ingin meluapkan kekesalan dan segala tuduhannya pada Mahmud. Sekuat tenaga Astri mencoba untuk tetap bersikap biasa saja, setidaknya sampai para tamu meninggalkan rumahnya.
Astri langsung menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat begitu para tamu sudah tak terlihat.
"Oh, jadi gitu, ya! Pantesan Mas betah banget jauh-jauhan sama aku, lha wong di sini ada yang lebih Mas sukai. Ada perempuan idamannya Mas. Yang lebih cantik, pintar, sholihah. Yang lebih segala-galanya dari aku. Iya, terusin aja! Ngapain juga kemarin pakai jemput aku segala! Dasar, Mas tuh nggak ada bedanya sama laki-laki genit di luaran sana!" Nada suara Astri langsung meninggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...