12. Pesan Darinya

2.1K 314 20
                                    

Happy reading :)

***

Sepekan lebih disibukkan dengan pengurusan pernikahan, Mahmud semakin menyadari nama besar dan pengaruh Pak Prawiro. Tak hanya di desanya, tapi juga di desa-desa sekitar, bahkan sampai kecamatan-kecamatan yang bertetangga.

Mahmud menjadi sangat memahami bagaimana paniknya keluarga Prawiro saat mendapati anaknya hamil di luar nikah. Lagipula itu bukan sepenuhnya kelalaian Pak Prawiro dan istrinya, seringkali lingkungan memberikan pengaruh yang lebih besar ketika seseorang sudah jauh dari akarnya. Apalagi perhatian keluarga Pak Prawiro tentang agama belum lama dimulai. Tepatnya sejak dirinya memperoleh beasiswa ke Mesir, sejak itulah keluarga Pak Prawiro mulai lebih menyadari pentingnya penanaman nilai-nilai Islam dalam segala sendi kehidupan. Meski tak ada kata terlambat, namun dalam hal penanaman keimanan pada diri Astri, tentunya cukup terlambat untuk dimulai.

Satu hal lagi yang Mahmud baru ketahui. Ternyata sudah menjadi rahasia umum bagi warga desanya, bahwa dirinya kelak akan menjadi bagian dari keluarga Prawiro. Memang tak pernah secara tersurat diucapkan, tetapi secara tersirat, baik sikap, perbuatan, maupun ucapan dari Pak dan Bu Prawiro mengarah ke sana. Dan itu sangat mudah dibaca oleh orang-orang di desanya, khususnya para pekerja di beberapa lini usaha milik keluarga Prawiro.

Bagi Mahmud ini adalah sebuah kabar baik. Setidaknya bisa menekan kecurigaan atas pernikahannya dengan Astri besok pagi. Ya, besok pagi.

Pertanyaan mengenai pernikahan yang terkesan buru-buru saja, nyaris tak pernah Mahmud terima. Satu dua yang bertanya pun langsung percaya ketika dia mengatakan  harus segera meninggalkan desanya lagi untuk mengajar di pondok, sehingga akan lebih baik jika pernikahan dilaksanakan lebih cepat.

"Iso ndang diboyong sinok ayune ha a.(Bisa segera dibawa si gadis cantiknya dong ya.)" Begitu candaan dari orang-orang di sekitarnya, yang disambut Mahmud dengan senyum. Padahal hatinya berkata, Ada yang ayu juga malah jadi ujian, lha masih haram untuk disentuh. Bisa-bisa malah jadi dosa.

"Ono opo mesam mesem dewe, Am? (Ada apa senyam-senyum sendiri, Am?)" Suara ibunya mengagetkan Mahmud. Dia tak sadar sedang melamun, malah sampai tersenyum-senyum segala.

"Eh, ng-nggak, Bu. Nggak ngelamun kok."

"Sudah mulai merasa cocok sama Astri?" Pertanyaan ibunya seperti sedang mengajak bercanda.

"Ya harus dicocok-cocokin, Bu, wong mau tinggal serumah," jawab Mahmud sok diplomatis.

Dia lantas bercerita pada ibunya, tentang banyak hal yang dia temui dan baru dia ketahui beberapa hari terakhir ini. Termasuk isu-isu yang beredar mengenai dirinya, yang sejak lama telah masuk bursa calon menantu bagi Pak Prawiro, bahkan menjadi calon satu-satunya.

Ibunya tersenyum, mengambil tempat untuk duduk di samping Mahmud. Digenggamnya jari-jari si anak semata wayang nan saleh dan rupawan.

"Itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan ibu. Kalau kamu yang menikahi Astri, keluarga Prawiro bukan saja akan tertutupi aibnya, tetapi juga terhibur hatinya, sebab sejak lama memang kamu yang digadang-gadang sebagai calon mantu bagi mereka. Ibu saja yang nggak pernah membahas ini, karena ibu nggak melihat ada respon dari Astri.

"Tentang kamu juga ibu sendiri nggak tahu, bagaimana rencana hidupmu ke depan. Apalagi kita juga lima tahun nggak ketemu kan, Am. Sepanjang itu juga, bekal ibu ke kamu cuma percaya bahwa kamu selalu memegang pesan-pesan bapakmu selama di sana. Ibu kan orang bodoh, sedangkan kamu sudah sampai ke luar negeri jauh sana, mestinya kan pemikiranmu sudah lebih jauh ke depan.

"Sekali lagi ibu minta maaf kalau membawamu kepada keadaan yang sulit ini. Percayalah, niat ibu baik. Walaupun mungkin tidak demikian untuk kamu, tapi dalam hidup ini adakalanya kita lebih memikirkan kebaikan bagi orang lain daripada untuk diri kita sendiri. Maafkan ibu ya, Am."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang