4. Laki-laki Brengsek

2.5K 335 10
                                    

Happy reading.

***

Di rumah Pak Prawiro, ibu Mahmud baru selesai memasak dan menghidangkan sarapan di meja makan. Megono dan tempe goreng tepung menjadi menu yang tak pernah absen. Tumis sotong dan krupuk mi melengkapi menu pagi itu.

"Nju, Aam dipanggil, suruh makan di sini saja. Sekalian kita sampaikan obrolan kita semalam," kata Aryati atau Bu Prawiro pada ibu Mahmud.

Para orang tua sudah membahas tentang rencana menikahkan Astri dengan Mahmud. Awalnya Pak Prawiro menolak, beliau tidak tega mengorbankan Mahmud untuk kesalahan anaknya. Tetapi setelah menerima penjelasan dan alasan dari ibu Mahmud, Pak Prawiro bisa menerima, meski dengan sedikit rasa bersalah.

Segera setelah rampung menata meja makan, ibu Mahmud masuk ke kamar Astri untuk mengambil gawai dan menelepon anaknya. Meminta Mahmud segera datang dan sarapan bersama.

"Ayo siap-siap maem, Nduk," ajaknya pada Astri.

"Nggak lapar, Bu." Astri menolak. Kegiatannya sejak semalam hanya membolak-balik badan. Sesekali ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut yang sewaktu-waktu memaksa keluar. Hanya sempat ngobrol sedikit dengan ibu Mahmud. Gadis itu terlihat lesu, juga bosan, karena tidak memegang gawai di tangan.

"Sekarang ini ada jabang bayi di perutmu. Jangan memikirkan dirimu sendiri, Nduk."

"Tapi kan gara-gara bayi ini juga aku jadi terancam kehilangan masa depanku, Bu."

"Siapa yang mengancam seperti itu, Nduk? Itu cuma bayanganmu sendiri. Kalaupun ada yang harus disalahkan, tentu bukan si jabang bayi. Sudah, kita makan dulu saja. Nanti ada masmu juga, kita cari jalan keluarnya bareng-bareng. Asal ada niatmu untuk bertaubat, insya Allah akan ada jalan keluar untuk setiap permasalahan."

Astri menangis lagi, entah karena apa. Dia hanya merasa ingin menangis. Ibu Mahmud memeluknya, membiarkan air mata gadis itu membasahi bajunya.

Mahmud yang memang sudah lapar segera memacu motornya menuju rumah keluarga Prawiro. Dia tiba tak sampai sepuluh menit. Pak Prawiro sudah menunggu di pendopo depan rumah.

"Iso turu, Am? (Bisa tidur, Am?)" tanya Pak Prawiro sembari menyambut uluran tangan Mahmud.

"Alhamdulillah, saged (bisa), Pak."

"Ya sudah, ayo kita masuk dulu, mumpung pekerja belum pada datang." Pak Prawiro mempunyai beberapa unit usaha yang sudah dirintis sejak beliau masih muda. Perkebunan dengan beberapa jenis komoditi, beberapa toko kelontong besar yang tersebar di hampir setiap desa di beberapa kecamatan terdekat, juga usaha konveksi yang tempat produksinya berada di area rumahnya yang luas.

Dua laki-laki beda generasi melangkah masuk. Bu Prawiro dan ibu Mahmud sudah menanti sambil berbincang di ruang makan. Astri yang duduk di pojokan hanya diam sambil menunduk, masih ketakutan setiap kali berada satu ruangan dengan bapaknya. Penyesalan dan rasa berdosa menyesaki hatinya.

Meja makan yang biasanya menjadi tempat berbincang dengan hangat, kali ini hening. Hanya suara Pak Prawiro yang sesekali bicara sesuatu pada istrinya, atau pada Mahmud. Hingga waktu makan usai, suasana hening belum juga terpecahkan.

Ibu Mahmud membereskan meja makan. Mahmud hendak membantu, tapi dicegah oleh ibunya. Rasanya teramat kikuk, ia memutuskan untuk mencoba mencairkan suasana.

"Semalam bisa istirahat, Pak, Bu?" Dimulainya dengan basa-basi.

Pak Prawiro langsung menjawab dengan panjang lebar. Tentu saja jawabannya tidak bisa tidur dengan nyaman. Bagaimana mau tidur nyenyak? Anak satu-satunya yang selama ini selalu dibanggakan telah memukul harga dirinya dengan telak.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang