Happy reading :)
***
Tak ada yang lebih berarti bagi seorang istri, selain kasih sayang dari suami yang tercurah sepenuh hati hanya untuk dirinya saja. Begitu pula bagi Astri. Pernikahan yang dimulai dengan keterpaksaan, sampai juga pada titik balik ketika dia mau mencoba menjalani dengan keikhlasan. Ikhlas menjalankan peran sebagai seorang istri, sebagai seorang anak, juga sebagai seorang menantu dari ibu yang begitu dicintai oleh anak laki-laki satu-satunya.
Kasih sayang Mahmud pada Astri terasa betul tulusnya. Jika sebelumnya perhatian yang diberikan masih ada kesan sebagai pemenuhan kewajiban, sejak insiden ibunya mencuci piring malam itu perhatiannya pada Astri berubah menjadi sepenuh perasaan. Mahmud memang selalu baik dan sabar, tapi Mahmud yang sekarang juga begitu pengasih dan penyayang.
Rumah tangga mereka berdua sudah seperti kehidupan suami istri pada umumnya, pelukan dan kecupan menjadi hal yang cukup lumrah dalam keseharian. Astri masih suka menggoda, Mahmud tak lagi semalu-malu dulu menerimanya. Kecanggungan dalam beberapa hal sudah luruh, berganti keakraban yang sungguh menyentuh. Satu-satunya yang belum berubah adalah bahwa Astri belum halal untuk dipergauli seperti lazimnya suami istri, dan Mahmud masih istiqomah memegang teguh aturan yang satu ini.
"Mas, perutku kok rasanya nggak nyaman, ya? Punggungku juga agak pegel-pegel, dan kepalaku cenut-cenut. Nggak enak pokoknya," keluh Astri sore itu.
Mahmud baru selesai mandi. Seperti sore-sore yang lalu, mereka berdua duduk bersantai di ruang tengah. Mahmud melepas lelah setelah seharian bekerja, Astri bermanja-manja walau sekadar menyandarkan kepala pada bahu suaminya.
"Kandunganmu sudah berapa bulan ya, Nas?"
"Udah masuk bulan kesembilan, Mas. Kalau HPL masih tiga minggu lagi. Gitu ya, mentang-mentang bukan anaknya terus nggak inget." Astri merajuk.
"Nggak gitu, Nas. Aku nggak suka kamu ngomong begitu. Sudahlah, nggak usah diungkit-ungkit, dia anakku. Selesai. Ngomong kayak gitu sama dengan kamu masih ingat-ingat laki-laki berengsek itu, Nas. Atau..., kamu memang masih ingat-ingat tentang dia?" Baru kali ini Mahmud terlihat kesal.
"Mas cemburu?"
"Ya jelaslah aku cemburu. Kamu istriku, Nas. Anak itu, meskipun bukan dari benihku, tapi dia akan terlahir sebagai anakku. Membahas laki-laki itu jelas menyakiti hatiku, Nas. Kamu tahu, setiap kamu bicara tentang dia, yang terlintas di pikiranku adalah perbuatan kalian yang kebablasan itu. Aku sakit hati, Nas.
"Kamu dulu kuanggap adikku, maka saat ada laki-laki yang merusakmu, lalu meninggalkanmu, aku pun nggak terima, Nas. Apalagi sekarang ini kamu istriku. Tentu saja membicarakannya membuatku cemburu. Aku sayang kamu, Nas. Aku..., aku cinta sama kamu." Mahmud membuang napas dengan kasar. Dia menyugar gusar.
Air mata Astri berlelehan di kedua pipinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, suaminya menyatakan perasaan. Hidupnya terasa lengkap. Dia mencintai, juga dicintai. Begitupun bayi yang ada dalam kandungannya, Astri yakin sekali, dia akan dicintai oleh Mahmud sebagaimana anaknya sendiri.
Dibenamkannya kepala ke dada suaminya. Meluapkan setiap emosi bahagia di sana. Astri menangis sampai tersengal-sengal, lalu kebablasan sesak napas.
Mahmud panik, berlari ke kamar meninggalkan Astri. Hanya sebentar, lalu kembali membawa dompet, kunci mobil, dan tas berisi baju-baju Astri yang dia ambil sembarang saja.
Astri masih sadar sepenuhnya, hanya napasnya yang kepayahan. Mahmud memakaikan kerudung, lalu kaus kaki, menutup aurat istrinya dengan sempurna, barulah dia memapah Astri menuju ke mobil. Tidak menggendongnya, sebab postur tubuh Mahmud kurang seimbang dengan berat badan Astri sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...