Happy reading :)
***
Bakda asar Mahmud tiba kembali di desanya. Tak menuju ke rumah, melainkan langsung ke kediaman keluarga Prawiro. Motornya ada di sana, begitu pula ibunya. Ia berencana pulang bersama, nanti bakda maghrib, ada yang perlu ia bicarakan dengan Astri lebih dahulu.
"Am, seko ngendi? (dari mana?)" Salah seorang pekerja konveksi bertanya, dia yang memimpin bagian produksi.
"Dari Pekalongan, Lek," jawab Mahmud sopan.
Pekerja yang dipanggil Lek itu mendekat. "Jare awakmu arep dipek mantu karo juragane, ha a?"
(Katanya kamu mau diambil mantu sama juragan, iya kah?)Mahmud tersenyum, "Ujare sinten?"
(Kata siapa?)"Halah, wis pokoke aku ngerti. Geri njawab iyo pu'o si, Am (Halah, sudah pokoknya aku tahu. Tinggal menjawab iya saja sih, Am)," kata pekerja itu lagi, kali ini sambil terkekeh.
"Pancen tepat pilihane juragane. Kudu cepet ra, selak kedhisikan wong liyo. Calon mantu potensial ngene. Bagus, sholeh, pinter, kurang opo meneh? Selamet yo, Am."
(Memang tepat pilihannya juragan. Harus cepat dong, keburu didahului orang lain. Calon menantu potensial begini. Tampan, sholeh, pintar, kurang apa lagi? Selamat ya, Am.)Mahmud hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Hatinya seperti disayat-sayat sembilu. Perih. Ia memilih untuk segera berpamitan. Sembari menepuk pundaknya, si pekerja tersebut mempersilakan.
Rumah utama sepi, salamnya tak berjawab hingga tiga kali. Mahmud terus masuk, sudah seperti di rumah sendiri. Sampai di ruang tengah, Astri muncul dari balik gorden pemisah, gadis itu baru saja selesai mandi.
"Astaghfirullah hal adzim," pekik Mahmud lantang sambil berbalik badan. Hatinya bergemuruh tak keruan.
Astri hanya mengenakan daster panjang tanpa lengan. Berjalan sambil sibuk mengeringkan rambut dengan handuk, tentu saja hijabnya ditanggalkan.
"Hih, Mas Aam kok masuk nggak pakai salam, sih?! Aku kan jadi ternoda!" Gadis itu ikut kesal. Mahmud lebih kesal lagi.
"Ternoda gimana? Kamu kan memang sudah ternoda. Lagian aku nggak sengaja, Nas! "
"Ya tapi kan Mas bisa salam dulu! Belum dijawab udah nyelonong aja!"
"Iya, maaf, Nas. Tapi aku sudah salam sampai tiga kali tadi." Mahmud menurunkan intonasi.
"Ya kalau belum dijawab tuh tunggu dulu, jangan asal masuk aja! Mas kan belum resmi jadi penghuni rumah ini!" Astri tetap istiqomah nyolotnya.
"Iya, aku kan sudah minta maaf. Lagian, daripada marah-marah, bukannya lebih baik kamu cepat-cepat masuk ke kamarmu saja, Nas?" Suara Mahmud melembut. Menghadapi Astri memang tidak bisa dengan keras, kalau sudah demikian, nada suaranya bisa lebih tinggi.
"Ono opo si, ribut-ribut? (Ada apa sih, ribut-ribut?)" Bu Prawiro datang menengahi. Mahmud jadi makin tak enak hati. Malunya sampai ke sumsum.
"Itu tuh, Mas Aam masuk nggak pakai salam. Aku kan jadi kelihatan auratnya." Astri masih saja galak.
"Maaf, Bu, tapi saya sudah salam sampai tiga kali. Memang saya salah karena kemudian langsung masuk saja. Maafkan saya, Bu." Terpaksa kembali memutar badannya demi menghadap calon ibu mertua. Tapi Astri masih di sana. Sekuat hati Mahmud menahan matanya untuk tak melihat ke arah Astri.
"Halah, nggak apa-apa, sebentar lagi jadi suami istri ini." Enteng sekali Bu Prawiro berkata.
Tak ada yang tahu Mahmud sedang mengeluh dalam hati, membayangkan hari-harinya setelah menikah dengan Astri. Bisa jadi setelah berstatus istri, Astri akan tampil seperti itu setiap hari. Padahal Mahmud masih harus menahan diri, tidak boleh menyentuhnya sampai bayi dalam kandungan Astri terlahir nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...