22. Resah dan Gelisah

2.8K 357 23
                                    

Happy reading :)

***

Mahmud yang biasanya tenang kali ini dilanda kepanikan. Istrinya pingsan, bayinya berhenti menangis. Apakah dia akan kehilangan keduanya? Sungguh, membayangkan saja Mahmud tak ingin. Astri sudah menjadi bagian dari hidupnya, pun bayinya, sekarang menjadi bagian dari kehidupan mereka berdua.

"Dokter, Suster, bagaimana? Kenapa istri saya pingsan dan bayi kami juga berhenti menangis? Apa yang harus saya lak---"

"Tenang dulu ya, Pak. Semua sedang diperiksa, Bapak banyak berdoa. Mungkin menunggu di luar bisa membuat Bapak lebih tenang. Kami akan segera memberitahu setelah penyebabnya diketahui."

Salah satu perawat ruang bersalin menjelaskan apa yang harus Mahmud lakukan. Tenang dan banyak berdoa. Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan bapak-bapak di dalam sana tanpa keilmuan mengenai bayi dan persalinan?

"Tapi, Suster ---"

"Silakan, Pak, pintunya di sebelah sana." Perawat itu mengusir dengan halus. Mahmud menyugar, meninggalkan ruang persalinan dengan gontai.

Di luar dia menemukan ibunya. Mahmud segera menghampiri dan duduk di sampingnya. Genggaman tangan sang ibu menghangatkan jari-jarinya.

"Astri pingsan, Bu. Bayinya juga nangisnya lemah, terus diam." Mahmud menahan tangis, tak ingin terlihat lemah di depan ibunya.

"Gak usah semrawut pikirane, dongane bae sing akeh. Insya Allah apik-apik kabeh."
(Nggak usah semrawut pikirannya, doanya saja yang banyak. Insya Allah baik-baik saja semuanya.)

Mahmud mengangguk, rangkaian doa terlantun dalam hatinya,masih dengan tangan yang bertautan dengan jemari ibunya. Hening.

"Bayine lanang opo wedok?"
(Bayinya laki-laki atau perempuan)

"Ehk, Aam malah lupa tanya dan ngecek, Bu."

Ibunya tertawa kecil, melepas genggamannya, dan mengacak rambut si anak semata wayang.

"Bu."

"Piye, Am?"
(Gimana, Am?)

"Aam mau salat dulu sebentar, Bu. Ibu nggak apa-apa kalau Aam mintai tolong untuk tetap di sini dan menunggu? Siapa tahu ada informasi dari dalam."

Ibunya mengangguk disertai senyuman yang sejuk. Aam bergegas menuju musala. Tak lagi gontai, hanya ingin segera. Segera menyampaikan perasaannya pada Sang Maha.

Tak sampai lima belas menit dia sudah kembali ke depan ruang bersalin, tapi ibunya tak tampak di sana. Lalu pintu terbuka, seorang perawat keluar dari ruangan.

"Oh, Bapak sudah di sini. Alhamdulillah, ibu sudah siuman, Pak. Tidak apa-apa, hanya kecapaian," sambut perawat dengan ramah.

"Bayinya, Sus?" Mahmud mencoba untuk tetap tenang.

"Agak lemah karena berat badannya rendah, tapi secara umum insya Allah kondisi semua aman. Yang menjadi catatan hanya ibu harus dijaga agar tetap tenang. Kalau bayinya untuk sementara harus masuk inkubator dan diobservasi dulu sampai beberapa jam ke depan, Pak. Tapi kalau Bapak mau mengadzani, kami persilakan."

"Baik, Suster. Tapi, boleh saya menemui istri saya dulu?"

"Sebenarnya boleh saja, Pak, tapi ini ibu mau dipindahkan ke kamar perawatan, jadi mungkin bisa sekalian saja."

Rupanya perawat itu membuka pintu untuk brankar yang membawa Astri. Mahmud lega, apalagi melihat ibunya juga ada di sana. Inginnya segera mendekati sang istri, tapi ditahannya hingga mereka tiba di ruang tempat Astri dirawat inap.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang