10. Bicara Berdua

2.1K 326 12
                                    

Happy reading :)

***

Mahmud minta izin untuk pulang dan mengganti pakaian. Setelahnya segera kembali ke kediaman keluarga Prawiro. Urusannya dengan Astri harus diselesaikan malam ini juga.

Cahaya dari petromaks menerangi teras belakang. Sudah ada listrik tentu saja, tetapi khusus teras belakang, Bu Prawiro ingin mempertahankan suasana masa silam. Kursi rotan, dinding papan, dan tiang-tiang kayu, juga beberapa lampu minyak yang fungsinya sudah bergeser hanya sebagai pajangan.

Segelas kopi susu terlihat masih mengepulkan asap, bersanding dengan bolu coklat di atas meja bundar. Astri menggenggam erat kotak tetra pak berisi minuman rasa jeruk. Mengangkat kakinya ke atas kursi, lalu menyelimutinya dengan homedress lebar yang dia kenakan. Hawa dingin semakin menusuk tulang. Sudah sepuluh menit bersama, keduanya masih betah saling diam.

"Katanya Mas mau ngomong, kenapa malah diem-diem bae? Dingin tahu nggak, sih."

Mahmud tak menjawab. Dilepasnya jaket dan menyodorkan pada Astri. "Ini, pakailah biar nggak dingin."

Astri menoleh, mata mereka saling beradu. Mahmud buru-buru mengembalikan arah pandangnya ke halaman belakang. Astri masih terpaku, menyusuri lekuk-lekuk yang tak berubah pada wajah laki-laki dari masa kecilnya. Hanya terlihat makin tegas, dewasa, dan..., tampan.

Ehk, apa sih? Astri menyentak batinnya sendiri.

"Sudah siap menikah denganku?" Mahmud membuka percakapan dengan pertanyaan yang tidak perlu.

"Siap nggak siap harus mau, kan? Memangnya Mas udah siap jadi suamiku? Jadi bapaknya anakku? Kan ya karena terpaksa juga, to?"

"Kamu nggak berubah ya, Nas. Tetep galak dan nyolot. Harusnya begitu juga waktu laki-laki berengsek itu meminta sesuatu yang paling berharga dari kamu."

"Jadi aku nggak hamil, terus Mas nggak perlu nikahin aku. Gitu, kan?"

Mahmud tersenyum tipis. "Sudah cukup, Nas. Sekarang kita masuk ke inti pembicaraannya saja."

"Jadi yang ngajak padu tadi baru pembukaan?"
*padu: bertengkar/debat kusir

Duh, Mahmud tak sanggup membayangkan keadaan rumah tangganya bersama Astri nanti. Bisa-bisa hari-harinya diisi dengan adu argumentasi tak penting semacam ini. Tapi mau bagaimana lagi? Yang bisa dia lakukan hanya banyak berdoa agar yang ada di benaknya tak akan terjadi.

"Begini, Nas. Jadi, sebelum kita menikah nanti, ada dua hal yang aku harapkan untuk kamu lakukan. Yang pertama, apa yang sudah kamu lakukan sampai kebablasan dan mengandung, itu sebuah dosa besar. Dan aib dari zina, akan terbawa terus sepanjang hidupmu, Nas. Tapi bukan berarti Allah selamanya tidak akan mengampunimu, Nas. Kamu tahu kan, Allah Maha Pengampun, kepada hamba-Nya yang mau datang dan memohon ampunan.

"Dalam surat At-Tahrim ayat 8, yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

"Bertaubatlah, Nas. Mintalah ampunan kepada Allah. Bersimpuhlah, mohon kepada-Nya agar menutupi segala kesalahanmu, juga semua aib yang harus ditanggung, tak hanya olehmu, tapi juga oleh keluargamu. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu tak terbatas, untuk hamba-Nya yang menyadari dan memohon ampun atas kesalahan-kesalahannya."

"Tapi aku nggak tahu caranya, Mas." Suara gadis itu bergetar seperti hendak menangis. Teringat akan perbuatannya, dosa-dosanya, orang tua yang sudah sangat dikecewakannya. Ia bahkan tak tahu caranya bertaubat, memohon ampunan atas semua kesalahannya. Hamba macam apa dia?  Begitulah yang ada dalam pikirannya.

Melihat Astri menitikkan air mata, menitik pula harapan di hati Mahmud, bahwa perempuan itu tersentuh hatinya dan akan berubah menjadi lebih baik setelah pertaubatannya.

Maka Mahmud menerangkan dengan detail pada Astri tentang apa dan bagaimana yang harus dilakukan gadis itu untuk bertaubat.

"Yang pertama, kamu harus menyadari dosa-dosa dan kesalahan yang pernah kamu buat. Lalu kamu berniat dengan sungguh-sungguh bahwa kamu akan berhenti dan menjauhi segala perbuatan dosa, yang serupa, juga perbuatan-perbuatan lain yang tidak Allah sukai.

"Kerjakanlah salat taubat, Nas. Setelahnya berdoa, memohon ampunan, memohon kekuatan, memohon agar Allah menjaga dan menjauhkan dirimu dari dosa-dosa baru. Jika sudah, setelahnya perbanyaklah istighfar, perbanyak ibadah, bersedekah, dan berbuatlah banyak kebaikan."

"Ajari aku cara salatnya ya, Mas. Kapan? Bagaimana? Apa syaratnya?"

Mahmud melihat kesungguhan di mata Astri, lagi-lagi dia dibuat terenyuh hati. Dijelaskannya tata cara salat taubat, lalu berjanji akan menemani saat Astri melakukannya nanti. Tentu saja dari rumahnya sendiri, bukan menemani di samping si calon istri.

Astri berniat untuk melaksanakan secepatnya. Di sepertiga malam nanti, dia akan bersimpuh, memohon ampunan kepada Sang Maha Memaafkan.

"Satu lagi, Nas." Mahmud seakan mau mengingatkan bahwa pembicaraan mereka belum selesai. Astri kembali memandangi wajah tampan si calon suami dadakan.

"Besok atau lusa, kita ajak ibu untuk memeriksakan kehamilanmu. Memastikan kamu benar-benar hamil, sudah berapa minggu, bagaimana kondisi janinnya, dan semacamnya. Sebaiknya jangan di Batang atau Pekalongan. Semarang atau mungkin Kendal bisa menjadi pilihan. Meminimalisir kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang mengenal kita."

Astri mengangguk saja. Untuk segala urusan terkait persiapan pernikahan mereka, teknis maupun non teknis, Astri tak ada keinginan sama sekali untuk mendebat. Mahmud juga yang akan menyampaikan kepada ibu mereka, juga mengatur perjalanan yang akan mereka lakukan.

"Itu dulu saja, Nas. Kalau ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi, aku akan sampaikan lewat ibu. Sekarang masuklah, Nas, hawanya makin dingin. Lagipula, nggak baik kalau kita berdua-duaan terlalu lama."

Astri tak menjawab, hanya bergegas berdiri dan bersiap untuk pergi. "Aku duluan ya, Mas. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumussalam."

Perempuan itu sudah hampir melewati pintu ketika suara Mahmud menyapa kembali gendang telinganya.

"Nas..., jaketku." Mahmud masih harus pulang. Naik motor tanpa jaket tentu bukan pilihan tepat di tengah hawa dingin yang menusuk tulang. Dia tak boleh tumbang, bahkan sekadar meriang. Masih banyak yang harus dia urus berkaitan dengan persiapan pernikahan.

Astri kembali menuju ke arah Mahmud, melepas jaket dengan muka memberengut.

"Huh. Kirain Mas tuh orangnya romantis waktu kasih aku jaket biar nggak kedinginan tadi. Tahunya diminta lagi. Nih!" Dilemparkannya jaket ke badan si empunya.

Senyum Mahmud mengembang. Sejak kecil Astri memang begitu, mood-nya mudah sekali naik turun.

"Maaf ya, Nas. Karena aku masih harus pulang naik motor. Kamu tahu kan kayak apa dinginnya desa kita ini."

"Iya, sedingin hatinya Mas!" Perempuan itu berlalu, meninggalkan Mahmud yang mencoba mencerna kalimat Astri dengan termangu.

Begitu tersadar, Mahmud segera menuju kamar ibunya, meminta beliau menemani Astri lagi malam ini. Juga membangunkan gadis itu di sepertiga malam, agar tak terlewat untuk melaksanakan salat taubatnya.

Setelahnya Mahmud pulang, melintasi jalanan desanya yang sepi. Kabut mulai turun, mengaburkan sebagian pandangan. Kejadian hari itu berlomba-lomba menghiasi benaknya. Harapannya akan Azizah memang telah pupus, berganti harapan baru, yang meski tak ia sukai tapi pada pilihan itulah terdapat doa ibunya yang tak akan pernah putus.

***

Yeaiy... Double update. Setelah kemarin bolos beberapa hari. Hehe...

Terima kasih sudah membaca.

See you :)

Semarang, 19092021

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang