Happy reading :)
***
Bunyi jangkrik bersahutan dengan kawanan serangga lainnya, meramaikan sepertiga malam yang telah beranjak tiba. Mahmud masih terlelap, tampaknya alarm alaminya sedang tak ingin bekerja. Mungkin karena terlalu larut tidurnya, merenungi banyak kejadian yang menyapa begitu ia menginjakkan kaki kembali ke tanah kelahiran yang dicinta.
Gawainya berdering-dering nyaring. Ia terbangun dengan segera. Bukan alarm, karena ia nyaris tak pernah menyalakannya. Dua panggilan tak terjawab muncul di notifikasi. Nama yang tertera sebagai pemanggilnya sama, Danastri Nurlaili.
Inginnya kembali menarik selimut bermotif garis-garis biru pudar peninggalan neneknya, tapi dia ingat, malam ini ada misi untuk menemani seseorang yang kini berstatus calon istri.
Mahmud berhenti sebentar, melafalkan doa yang selalu ia baca begitu dibangkitkan dari tidurnya. Memuji Sang Maha, yang sudah menghidupkannya setelah mematikannya dengan tidur yang nyaman.
Alhamdulillahilladzi ahyana ba'dama amatana wailaihin nusyur.
Diketiknya satu pesan untuk Astri.
[Tunggu sebentar ya, Nas. Aku wudhu dulu.]
Tak menunggu terkirim atau dibaca, Mahmud bersegera menuju ke belakang rumah. Tak hanya berwudu, tapi sekaligus mandi, mengusir segala rasa malas agar tak menjadi-jadi.
"Sudah siap, Nas?" Mahmud menelepon Astri. Yang di seberang menjawab dengan ya.
Instruksi dimulai. Tak terlalu sulit, sebab tata cara salat taubat secara umum sama seperti salat sunnah lainnya. Hanya niatnya saja yang berbeda.
"Kalau sudah selesai salat, berdoanya apa saja, Nas. Bebas, terserah kamu. Mintalah agar Allah mengampuni semua kesalahanmu, menjauhkanmu dari segala perbuatan buruk, menjagamu dari segala keburukan, dan melimpahimu dengan banyak kebaikan. Setelahnya perbanyak istighfar ya, Nas. Juga baca sayyidul istighfar. Sebentar aku kirim ke kamu."
Astri hanya iya iya saja, sambil merekam baik-baik semua obrolan mereka.
"Ibu lagi apa, Nas?"
"Ibu siapa?"
"Ibuku lah, Nas. Masa iya Bu Prawiro. Ibuku tidur sama kamu, kan?"
"Oh. Iya, ibu tidur sama aku. Udah bangun dari tadi. Ibu juga yang bangunin aku, Mas. Mungkin tadi ibu habis ngaji atau salat malam. Sekarang ibu tidur lagi. Better gini sih, kan aku malu kalau salat dilihat sama ibu."
Mahmud tertawa kecil, lalu mengakhiri teleponnya, dan bersegera mengirimkan apa-apa yang harus Astri baca dan lakukan setelah melaksanakan salat taubat.
Di kamarnya yang nyaman, Astri yang sudah mengenakan mukena membaca satu demi satu petunjuk yang dikirimkan Mahmud padanya. Tekadnya untuk bertaubat sudah bulat. Dia ingin kembali suci, sebab tak lama lagi akan menjadi istri dari seorang laki-laki saleh yang dia tahu sangat menjaga diri. Walaupun pernikahannya adalah pernikahan yang dipaksakan, tetap saja laki-laki serupa itu semestinya tak pantas bersanding dengan Astri yang penuh kehinaan.
Di atas sajadah dia berdiri. Baru takbiratul ihram, air matanya sudah meleleh di kedua pipi. Dosa-dosa seolah membayang di pelupuk mata. Maka sepanjang salatnya, sepanjang itu pula wajahnya tak pernah kering sedetik jua.
Isaknya makin menjadi-jadi saat menyebut kedua orang tuanya dalam doa. Setiap yang diberikan oleh bapak ibunya adalah hal terbaik yang Allah titipkan melalui keduanya. Kebahagiaan, canda tawa, pendidikan terbaik, materi yang berlimpah, dan yang utama adalah doa-doa yang selalu tercurah untuknya. Harapan dan cita-cita baik tersemat padanya, tanpa tuntutan yang membuatnya tertekan. Tapi apa yang dia berikan sebagai balasan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...