25. Pulang Kampung

2.8K 366 35
                                    

Happy reading :)

***

"Nas, kalau untuk sementara kamu tinggal di desa aja, gimana?"

Mahmud membuka percakapan dengan hati-hati. Dia harus menjaga perasaan Astri. Soal nasab anaknya, Astri sudah bisa mengerti dan menerima, bahwa semua dilakukan Mahmud demi masa depan mereka, tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Hanya saja beberapa waktu terakhir Astri masih saja ketakutan akan ancaman kehadiran laki-laki dari masa lalunya.

"Kenapa, Mas? Mas nggak suka aku sama Farhan di sini?"

Mahmud mengambil napas panjang. "Bukan begitu, Nas. Tapi sejujurnya, aku nggak suka kamu membahas laki-laki itu terus. Aku nggak suka dengan ketakutanmu bahwa dia akan datang ke kamu, mencarimu, dan semacamnya. Bisa saja dia memang mau ke Pekalongan, tapi untuk urusan lain, bukan untuk mencari keberadaanmu."

"Tapi aku takut, Mas."

"Takut apa? Takut nggak bisa menolak pesonanya lagi?" Mahmud terlepas bicara saking kesalnya, dan itu membuat Astri kembali meneteskan air mata.

"Apa Mas nggak percaya sama aku?" Astri menatap tajam pada suaminya, membuat Mahmud jadi tak tega.

"Maaf, Nas. Harusnya aku nggak bicara begitu. Tapi ketakutanmu itu sudah sampai pada taraf mengganggu bagiku."

"Aku takut Mas ninggalin aku."

"Untuk alasan apa aku ninggalin kamu, Nas? Nggak ada. Tapi kalau kekhawatiran dan ketakutanmu masih terus ada, lebih baik untuk sementara kamu dan Farhan tinggal di desa dulu saja. Sampai kamu tenang."

"Mas?"

"Aku tetap di sini. Aku kan pekan depan sudah mulai ngajar lagi, Nas. Kalau kamu setuju, aku akan menemani dulu sampai habis masa liburku. Kalau pondok sudah masuk lagi, aku akan pulang sepekan sekali."

"Kenapa sepekan sekali?"

"Pekalongan-Bawang jauh, Nas. Bisa remuk badanku kalau tiap hari suruh bolak balik."

"Mas bawa mobil, dong. Karena kalau Mas jauh dari aku, yang remuk hatiku, Mas. Nanti kalau aku kangen sama Mas, gimana?"

Mendengar rayuan Astri, Mahmud ingin tertawa geli. Tapi cuma menyimpannya dalam hati.

"Nanti lihat jadwalku ya, Nas. Aku akan usahakan pulang kalau pas jadwalku agak longgar. Cuma ya..., nggak bisa setiap hari."

Dengan agak grogi Mahmud meletakkan tangannya di atas paha Astri. "Pikirkan dulu saja, Nas, besok pagi kasih tahu aku kalau sudah ada keputusan. Aku cuma nggak mau kamu di sini tapi hatimu dipenuhi ketakutan."

"Apa karena Mas sayang sama aku?"

"Kamu istriku, Nas."

"Berarti...."

"Ya itu tadi."

"Itu tadi yang mana?"

"Pertanyaanmu yang terakhir."

"Yang apa?"

"Yang ada sayang-sayangnya tadi."

"Apa susahnya sih bilang 'Iya, Nas, aku sayang kamu'. Huh." Astri merajuk. Berdiri hendak pergi.

"Yang penting apa yang kulakukan sudah menunjukkan itu kan, Nas?"

"Terserah Mas aja."

Astri meninggalkan Mahmud, membaringkan badan di samping Farhan yang menggeliat-geliat seperti akan bangun. Telunjuk Astri membelai wajah si bayi mungil. Dibisikkannya kalimat-kalimat yang menyatakan betapa sayang dia pada bayinya.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang