18. Ibu adalah Segalanya

2.3K 321 10
                                    


Happy reading :)

***

Mahmud mengajak Astri pulang ke kampung halaman mereka. Tadinya mau meminjam mobil pondok karena tak tega membawa Astri yang sedang hamil menempuh jarak 60-an kilometer dengan sepeda motor, tapi Astri tak mau. Tanpa meminta persetujuan sang suami, dia menelepon bapaknya agar mengirimkan mobil beserta driver-nya.

Agenda Mahmud pulang ke desa yang pertama adalah untuk mengobati kerinduan. Mereka belum pernah pulang sama sekali sejak tinggal di rumah yang baru di pondok. Agenda yang kedua sekaligus yang utama adalah menyampaikan pada keluarga bahwa mereka mungkin akan pindah rumah.

Bukan bermaksud memanjakan dengan menuruti segala kemauan istrinya. Mahmud hanya tak nyaman dengan kecurigaan Astri. Juga meminimalisir pertengkaran yang berpotensi terdengar oleh penghuni asrama di kiri kanan rumah mereka.

Kepada Pak Prawiro, Mahmud meminta izin untuk menggunakan uang yang pernah diberikannya. Ia merasa perlu melakukan itu, walaupun semua uangnya ia berikan dan simpan atas nama Astri. Pak Prawiro sampai merasa sungkan sendiri. Betapa sopan dan rendah hatinya sang menantu.

"Am, bapak njaluk ngapuro nek kui marakke awakmu dadi ora penakan ati (Am, bapak minta maaf kalau itu membuatmu jadi tidak enak hati). Dengan memberikan semua kepada Astri saja sudah menunjukkan keluhuran budi pekertimu. Ini malah pakai izin segala mau menggunakannya."

Pak Prawiro terbawa suasana hati. Ada bening yang tampak menggenang di kedua mata yang mulai menua. Menantunya sungguh-sungguh memuliakan dan berusaha membahagiakan anaknya, yang bahkan sedang mengandung benih dari laki-laki lain.

Masih dengan tak enak hati, Pak Prawiro memberitahu pada anak dan menantunya, bahwa beliau memiliki rumah di salah satu perumahan yang cukup dekat dengan pondok tempat Mahmud mengajar. Rumah itu dibeli sekitar tiga atau empat tahun lalu. Bu Prawiro tahu dan menyetujui saja, sebab menurutnya lingkungan perumahannya nyaman, harga yang ditawarkan terjangkau, dan bisa menjadi aset yang harganya akan terus naik bertahun-tahun ke depan. Sama sekali tak ada bayangan mengenai apa yang akan terjadi hari ini.

Meski sungkan, keduanya tetap menawarkan pada Mahmud dan Astri untuk menempati rumah itu saja.

Mahmud menyetujui, Astri tak begitu peduli. Yang paling penting bagi dia adalah bisa keluar dari lingkungan pondok, itu saja. Perkara mau tinggalnya di mana, dia tak begitu ambil pusing.

Mahmud juga yang memikirkan sendiri alasan untuk diajukan pada pihak pondok. Yang utama adalah kenyamanan istri, karena merasa rendah diri dengan dangkalnya ilmu agama yang dia miliki, sedangkan penghuni pondok lain semuanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Pihak pondok tentu tak bisa menahan, sebab tinggal di lingkungan pondok juga bukan suatu kewajiban. Bahkan asaatidz lain beserta keluarganya lebih banyak yang tinggal di luar pondok.

***

Sudah memasuki pekan kedua mereka menempati rumah milik bapak dan ibu Astri, tapi tidak semua kemauan Astri dipenuhi oleh Mahmud. Untuk jam mengajar tentu saja dia tak bisa begitu saja meninggalkan, sebisa mungkin menunggu sampai akhir tahun ajaran.

Jadilah kesibukan Mahmud masih tetap sama seperti sebelumnya, malah lebih, karena ada jarak tempuh yang lebih jauh dibandingkan saat masih tinggal di lingkungan pondok. Mahmud kadang tak pulang sampai sore, dan masih harus kembali ke pondok lagi sampai malam. Ini membuat Astri kembali merasa tak senang.

"Apa bedanya tinggal di pondok sama di sini? Aku cuma lebih bebas teriak-teriak aja kalau lagi kesel sama Mas. Tapi waktunya Mas buat aku juga sama aja, malah berkurang. Mas bolehin aku bawa mobil ke sini juga izin buat pergi-pergi sendiri nggak Mas kasih. Percuma! Aku kan manusia Mas, butuh perhatian. Kadang-kadang juga ngerasa kesepian. Mas nih memang nggak punya perasaan. Tanggung jawab ngajar aja yang dinomorsatuin, tanggung jawab sebagai suami malah dilupain."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang