Happy reading :)
***
Hampir sebulan tinggal di lingkungan pondok, Astri nyaris tak pernah keluar dari rumahnya. Paling banter sepekan sekali untuk mengikuti kajian yang ditujukan untuk keluarga besar pondok. Astri merasa tak nyaman. Dia merasa rendah diri karena sadar basic agamanya kurang baik, bahkan sangat kurang.
Alasan yang dia ajukan pada Mahmud adalah tak ingin menjatuhkan reputasi sang suami. Alasan lainnya, dia takut kalau ada yang melihat perutnya yang agak membuncit dan tahu kalau dia sedang 'isi'. Padahal itu hanya perasaannya saja. Perut Astri masih terhitung rata untuk kehamilan berusia sekitar dua bulan. Dia juga nyaris tak pernah mengalami muntah-muntah seperti kebanyakan wanita yang sedang hamil muda.
Satu-satunya yang menjadi ciri khas kehamilan adalah pengaruh hormon yang membuatnya mudah emosi. Itupun bagi Mahmud bukan sesuatu yang berarti, sebab dia sudah hafal kelakuan istrinya sejak sama-sama masih belia.
"Mas, apa Mas akan selamanya sibuk begini?" tanya Astri dengan muka sedih. Mereka baru selesai makan malam dan duduk bersama di ruang keluarga mereka yang mungil, yang hanya disekat dengan rak buku sebagai pemisah dengan ruang tamu.
"Sibuk bagaimana maksudmu, Nas?"
"Ya sibuk begini. Mas sadar nggak, sih? Udah hampir tiga minggu lho Mas banyak di luar."
"Di luar gimana?" Mahmud kurang paham, sebab selama ini dia hampir tak pernah keluar pondok kecuali untuk urusan-urusan tertentu, yang itupun jarang sekali.
"Ya jarang di rumah. Bayangin deh, Mas tuh dari jam tujuh pagi udah harus berangkat ngajar, pulang palingan cuma buat makan siang. Jam satu balik ngajar lagi sampai sore. Pulang cuma mandi sama istirahat sebentar, nanti sebelum maghrib udah ke masjid, bablas ngurusin santri lagi sampai malam. Cuma di weekend gini Mas punya waktu agak banyak buat aku.
"Mas sengaja ya? Mas pasti malas kan lihat aku? Mas baru sadar kalau nikahin aku itu kesalahan besar. Mas nyesel. Mas malu punya istri nggak mudeng agama kayak aku. Makanya Mas lebih suka ngabisin waktu di luar rumah. Iya, kan? Ngaku aja deh." Berbagai prasangka buruk Astri ajukan.
"Astaghfirullah hal adzim. Aku nggak seperti itu, Nas. Sungguh, sama sekali nggak ada yang kusesali dari pernikahan kita. Aku ditawarin tambahan jam untuk ngajar dan untuk ngurus santri itu sengaja kuambil semua kesempatan yang dikasih, Nas. Biar apa? Biar ada penghasilan lebih, ada pemasukan lebih buat kita, Nas.
"Kupikir itu bukan masalah buat kamu. Toh aku pergi juga cuma ke pondok, kalau kamu butuh aku, aku bisa segera pulang. Kenapa jadi harus dipermasalahkan, Nas?"
Yang dikatakan Mahmud, seperti itu jugalah yang ada di benaknya. Sama sekali tak ada prasangka bahwa Astri akan mempermasalahkan hal tersebut. Mahmud bukan tak bicara dulu pada istrinya saat akan menerima tambahan jam mengajar. Astri juga semestinya sudah tahu alasan Mahmud untuk itu.
"Yakin, alasannya cuma itu?" Nada suara Astri terdengar mengejek.
"Maksudmu gimana lagi, Nas? Kalau ada hal lain yang ingin kamu sampaikan, tinggal bilang aja, nggak usah pakai nada nggak enak begitu." Agaknya nada sumbang dari Astri dipahami oleh Mahmud.
"Mas pengen deket-deket sama keluarga Pak Kyai, kan? Mas mau manfaatin kesempatan untuk nikahin Ning Azizah, kan? Apalagi dia sendiri yang menawarkan diri untuk jadi yang kedua. Iya, kan?"
"Astaghfirullah hal adzim. Nas, aku---"
"Harusnya Mas nggak usah nerima permintaan ibu buat nikahin aku! Buat apa, kalau nantinya aku cuma akan dimadu. Mas kira aku mau? Cuma karena kondisiku, terus Mas mau manfaatin kesempatan, gitu? Mas ceraikan aku sekarang aja! Aku nggak sudi diduakan! Aku---"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...