Happy reading :)
***
Sejak kedatangan si bayi mungil, rumah Mahmud dan Astri menjadi lebih berwarna. Astri yang dulu semau gue, sekarang lebih lembut perangainya. Caranya mengasihi bayinya membuat perasaan Mahmud makin terikat padanya.
Meski si bayi baru beberapa hari berada di rumah, kegembiraan memenuhi setiap sudut kediaman Mahmud. Dia dan Astri pun bersepakat menamai bayi mereka dengan nama Farhan, yang berarti kegembiraan.
Astri sejenak lupa pada kecemasan terkait laki-laki dari masa lalunya. Harinya disibukkan dengan mengurus Farhan yang memberi kebahagiaan tersendiri baginya.
"Nas, aku mau ambil akta kelahiran Farhan. Kamu nitip apa?" tanya Mahmud pagi itu.
Astri menyebutkan beberapa hal yang dia inginkan, juga beberapa keperluan rumah tangga yang hampir habis persediaannya. Mahmud mengiyakan, berjanji akan mengusahakan semua yang Astri pesan.
"Nanti siang kita bicarakan sesuatu ya, Nas. Aku memohon maaf dari sekarang, tapi percayalah, semua kulakukan untuk kebaikan kita semua di masa depan. Bukan hanya di dunia, tapi juga kehidupan setelahnya."
"Maksud Mas apa? Mas mau ninggalin aku? Ini tentang laki-laki itu? Mas---"
"Bukan semua, Nas. Ini bukan tentang laki-laki itu. Dan aku juga nggak akan ninggalin kamu. Ini tentang kita, Nas. Kamu cuma harus yakin, kalau aku melakukan semuanya untuk kebaikan kita. Maafkan karena kukatakan sejak sekarang. Mungkin akan membuatmu nggak tenang sampai aku pulang nanti, tapi setidaknya kamu sudah ada persiapan." Digenggamnya erat tangan Astri, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan tentang akhir hubungan mereka.
"Aku berangkat dulu ya, Nas. Kamu yang semangat, ya."
"Gimana mau semangat, Mas udah kasih warning kayak gini."
"Kan aku udah bilang, kamu hanya harus mempersiapkan diri dan percaya padaku kalau semua kulakukan untuk kebaikan kita ke depan, Nas."
Astri tak menjawab. Ia kesal sekaligus penasaran. Ditinggalkannya Mahmud begitu saja. Mahmud tak marah, dia bisa mengerti kekesalan yang dirasakan oleh Astri. Yang dia lakukan memang menyebalkan, tapi dia terpaksa.
Sepanjang Mahmud pergi, hati Astri tak tenang. Dan entah kenapa, bayinya ikut rewel.
"Kenapa, Nduk? Kamu kelihatannya resah, gitu?" tanya ibu mertuanya.
"Eh, ng-nggak apa-apa, Bu," jawab Astri. Ibunya mendekat, mengambil alih Farhan dari gendongan Astri. Ibu Mahmud menyayangi bayi itu layaknya darah dagingnya sendiri.
"Eh, emm..., apa Mas Aam pernah cerita sesuatu tentang hubungan kami, Bu?" Astri memberanikan diri bertanya.
"Oh, soal itu Aam nggak pernah cerita apa-apa. Cuma..., kemarin dia bilang ke ibu kalau dia kurang suka kamu tanyai, apa dia akan ninggalin kamu, begitu. Kenapa, Nduk? Ada yang ingin kamu ceritakan ke ibu soal Aam?"
"Eh, ng-nggak, Bu. Astri cuma...."
Ting tong.
Bunyi bel menyela pembicaraan keduanya. Astri buru-buru menuju pintu. Dia sendiri yang harus menyambut Mahmud. Tak sabar lagi ingin tahu apa yang sebenarnya akan dikatakan oleh suaminya.
Begitu Mahmud masuk, Astri langsung menubruk dan memeluknya. Menangis tanpa Mahmud tahu sebabnya. Ibu Mahmud mendengar, tapi sengaja tak keluar. Digendongnya Farhan ke kamarnya, memberi kesempatan Mahmud dan Astri untuk bicara.
"Kamu kenapa, Nas? Ada masalah apa?" tanya Mahmud setelah Astri tenang dan melepas pelukan. Kedua tangannya bahkan masih memegang tas belanja berisi titipan Astri pagi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...