Happy reading :)
***
Astri gembira sekali. Besok pagi mereka akan kembali ke kampung halaman untuk menetap di sana. Rencananya dia dan Mahmud akan memulai hidup baru, ikut membantu mengurus usaha orang tuanya sekaligus belajar berwiraswasta, juga membantu mewujudkan keinginan Pak Prawiro.
Sudah cukup lama Pak Prawiro bercita-cita ingin memiliki pondok pesantren dan TPQ untuk belajar mengaji warga desa tempatnya tinggal dan sekitarnya. Beliau yang paling antusias menyambut rencana kepulangan anak cucunya. Bermalam-malam mendiskusikan soal keinginannya tersebut bersama Astri dan Mahmud setiap kali mereka pulang
Proses pindahan tinggal selangkah lagi. Barang-barang yang akan dibawa ke Bawang sebagian besar sudah diangkut menggunakan pick up milik Pak Prawiro. Tidak semua, sebab rumah yang selama ini mereka tempati di Pekalongan rencananya tidak akan dikosongkan isinya, untuk perhentian sewaktu-waktu mereka butuh ke Pekalongan.
"Sudah siap, Nas?" tanya Mahmud.
Sore itu Astri berniat untuk berbelanja kebutuhan bulanan yang jarang ditemukan di kampung halamannya sana. Untuk stok sebulan ke depan, begitu alasannya. Padahal hanya ingin berbelanja dan jalan-jalan sebelum menanggalkan status sebagai warga kota dan kembali menjadi penduduk desa.
Sebuah supermarket besar menjadi tujuan. Astri langsung asyik mengambil apa saja yang menurutnya dibutuhkan. Beberapa tidak dibutuhkan, tapi dia suka. Pokoknya apa yang mau dia beli, dia ambil saja. Suaminya sudah memberi lampu hijau untuk berbelanja menggunakan uang Astri sendiri. Tentu saja setelah dipaksa oleh sang istri yang keras kepala.
Astri sedang mencari susu kesukaannya untuk persediaan sebulan ke depan. Dibiarkannya Farhan merangkak ke sana kemari di sekitarnya. Kadang berdiri dan merambat jika menemukan pegangan. Anak itu sudah berusia hampir sepuluh bulan. Lincah dan ceriwis seperti ibunya, kulitnya putih bersih, pipinya chubby menggemaskan. Setiap yang melihat pasti berhenti untuk menggoda si bayi.
Kata bu bu bu bu dan ba ba ba ba menjadi yang paling sering Farhan ucapkan. Bubu setiap kali melihat sang ibu, baba celotehan yang tertuju untuk bapaknya.
"Ba ba ba ba." Bayi itu tertawa-tawa, lalu menjauh dari Astri. Dia membiarkan saja, sebab sejak tadi Farhan lebih banyak bersama bapaknya.
Usai mengambil susu, Astri baru menyadari bahwa yang didekati Farhan bukanlah bapaknya. Anak itu bahkan sudah berada di gendongan seorang laki-laki yang berdiri membelakanginya, sedang bercanda dengan seorang perempuan, mungkin istrinya. Astri mendekat hendak mengambil Farhan.
"Bu bu bu," panggil bayi itu melihat sang ibu.
"Farhan ikut siapa, Sayang?" ujar Astri sambil tersenyum ke arah si anak kesayangan.
Laki-laki yang sedang menggendong Farhan berbalik badan. "Maaf, anakny---" Laki-laki itu menghentikan kalimatnya melihat Astri, kemudian....
"Astri!" pekik laki-laki itu, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Astri terpaku, mendadak kelu. Wajahnya memucat, telapak tangannya tiba-tiba basah oleh keringat. Fais Al Andalusi. Laki-laki yang telah merenggut kehormatannya, ayah biologis dari anaknya, detik itu berada tepat di hadapannya.
"Apakah anak ini anakku?!" tanya Fais secepat dia bisa. Lupa, ada Azizah yang berdiri persis di belakangnya.
Astri menelan ludah dengan susah payah. Rasanya ingin pingsan, tapi dia mencoba untuk tetap berdiri demi Farhan.
"Bukan, Gus. Maaf. Ini anak saya," sahut Mahmud tiba-tiba.
Mahmud sudah dekat di belakang Astri, tadi, ketika istrinya mendekat ke arah si laki-laki. Namun ia tak berusaha mencegah, sebab dia sendiri tak tahu kalau sosok yang berdiri memunggungi itu adalah Gus barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...