13. Malam Pertama Bersama

3K 346 21
                                    

Happy reading :)

***

Petugas dari KUA sudah tiba. Tamu undangan akad nikah yang jumlahnya terbatas juga semua sudah hadir. Keluarga Prawiro sendiri sudah siap, termasuk Astri yang sudah terlihat cantik oleh polesan tangan ibunya. Sengaja tak menggunakan jasa perias pengantin, sebab selain Bu Prawiro menguasai soal tersebut, juga agar aib tetap tertutupi. Biasanya dukun nganten suka tahu kalau mempelai yang sedang dia rias sudah hamil lebih dulu.

Waktu sudah bergeser lima menit dari yang ditentukan, tapi Mahmud dan ibunya belum juga tiba. Astri mulai gelisah, bapak dan ibunya lebih-lebih lagi. Sebenarnya Mahmud sudah menghubungi semuanya, Pak Prawiro, Astri, bahkan Bu Prawiro, tapi tampaknya tak satupun yang fokus pada handphone pagi itu.

"Pak, Mas Aam kebanan!" pekik Astri kebetulan sekali dia membuka-buka gawainya untuk mengalihkan kegelisahan. Semua wajah menunjukkan kelegaan.
*kebanan: bannya kempes/bocor

Pak Prawiro ikut memeriksa handphone-nya, lalu menelepon balik sang calon menantu yang sudah ditunggu dengan hati berdebar-debar. Sudah tiga kali, tapi panggilan tak juga berjawab, sampai akhirnya terdengar suara cempreng motor tua memasuki halaman rumah yang luas.

Mahmud datang dengan ibunya, mengendarai motor pinjaman yang wujudnya sudah dipereteli tak keruan. Wajah sang calon mempelai pria juga terlihat kusut bersimbah peluh. Rupanya dia sempat menuntun motor yang bannya bocor sampai bertemu seseorang yang bisa ia pinjam motornya. Jasnya ditenteng, lengan kemejanya digulung seadanya.

Astri bukannya sedih, malah menahan tawa melihat penampilan calon suaminya. Pak Prawiro dan istrinya menyambut kedua tamu istimewa dengan wajah yang begitu gembira. Seluruh hadirin pun merasa lega, hampir semuanya tertawa melihat penampilan Mahmud yang sama sekali tak seperti calon pengantin.

"Mau didandani dulu atau cuci muka atau bagaimana, Am?"

"Mboten usah, Pak, begini saja. Biar Dik Astri langsung belajar menerima saya apa adanya," ujar Mahmud, masih sempat-sempatnya bercanda. Jangan ditanya hatinya, pedih sejak menerima pesan semalam.

Mahmud benar-benar tampil apa adanya, hanya mencuci tangan dan muka seperlunya saja, lalu membetulkan lengan kemeja, dan mengenakan kembali jas hitamnya. Tak lupa memakai songkok yang sejak tadi malam menjadi barang berharga baginya.

Didekatinya kursi dan meja tempat petugas KUA berada. Pak Prawiro sudah pula duduk di sana. Pun Astri, juga dua orang saksi.

Baru saja duduk di kursi sebelah Astri, perempuan itu menyodorkan sebungkus tisu basah yang sudah mencuat satu lembarnya.

"Dilap dulu kek mukanya, biar gantengan dikit," bisik Astri sambil masih menahan tawa.

Ingatan Mahmud justru melayang pada seseorang nun di seberang samudera. Tapi segera tersadar, dan menggeser ingatannya menjadi rasa syukur yang tak terkira. Astri sedikit perhatian padanya, kelihatannya itu satu hal yang cukup menggembirakan, menimbulkan satu harapan akan rumah tangga sakinah meski dimulai dari sesuatu yang susah payah.

"Sudah siap, Mas Mahmud?" Petugas KUA bertanya, Mahmud menjawab dengan ya.

Pemeriksaan surat-surat selesai, rangkaian kalimat pembuka dan doa-doa pun sudah terurai. Tibalah saatnya untuk akad nikah yang dinanti-nanti, kecuali oleh kedua mempelai.

Pak Prawiro terlihat sangat siap. Sesudah mengucap basmalah, ia meraih tangan kanan Mahmud, lalu memulai prosesi ijab.

"Saudara Mahmud Amrullah bin Amat Kasani, saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau kepada anak perempuan saya, Danastri Nurlaili, dengan mas kawin seperangkat alat salat, perhiasan emas dua gram, dan uang sebesar dua juta rupiah, dibayar tunai."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang