Happy reading :)
***
Malam bergulir sangat lambat, setidaknya menurut perasaan Mahmud. Ia gelisah, besok pagi akan menggagalkan sendiri rencana dan harapan besarnya menikah dengan putri sang kyai. Memang belum resmi ada lamaran dari pihaknya. Rencana itu ada juga karena keluarga Pak Kyai yang meminta. Azizah, putri bungsu Pak Kyai yang manis dan pandai, jatuh hati kepadanya. Seperti gadis penggembala yang ditolong oleh Nabi Musa, dia melemparkan isyarat yang ditangkap dengan baik oleh ayahnya.
Kejadian hari itu kembali menghias ingatan Mahmud, saat ia masih menjadi masisir. Pak Kyai dan Bu Nyai mengunjungi Azizah di Kairo, lalu memanggilnya untuk bertemu di sebuah rumah makan di tepian sungai Nil.
"Nak Mahmud, kami sudah hampir sepekan di sini, tentunya sepanjang itu pula Azizah tak pulang ke asrama, tapi diantar pamannya ke penginapan kami. Kami senang sekali bisa membersamainya beberapa hari ini. dia anak bungsu, gadis kecil kami semua. Dan kami menyadari, anak itu sudah dewasa, sudah menyimpan perasaan pada lawan jenisnya.
"Tak dikatakan memang, tapi dia seperti gelisah setiap kali kami, ana, umiknya, dan Gus Faqih berbicara tentang anta. Anak itu seperti menyembunyikan sesuatu. Semacam kegembiraan yang tertutup oleh senyum malu-malu. Kemarin malam kami tanya padanya tentang anta, memang tidak terucap pengakuan, tapi tentu saja kami tak menutup mata.
"Jadi, untuk itulah kami memanggil anta ke mari. Jika anta berkenan, menikahlah dengan Azizah..., nanti, setelah dia menyelesaikan pendidikannya di sini."
Pemuda itu sudah pasti kehabisan kata. Ning Azizah? Bahkan membayangkan gadis itu pun dia tak pernah. Mana berani? Baginya itu sesuatu yang lancang sekali.
Dia cuma orang miskin yang beruntung karena berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk menuntut ilmu di negeri para nabi. Itupun dengan dukungan dan bantuan dari pihak pondok pesantren tempatnya belajar dan mengabdi sepanjang tujuh tahun dari fase hidupnya. Di Mesir dia masih harus bekerja, menambah pemasukan sebagai penunjang hidupnya selama berada di negeri di mana sungai Nil mengaliri.
Sedangkan Azizah..., seseorang dengan nasab, ilmu, paras, materi, juga agama yang baik. Bilakah ada kesempurnaan di muka bumi ini, maka Azizah termasuk diantaranya. Jadi, mana mungkin seorang Mahmud bersanding dengannya? Bagai pungguk merindu rembulan saja.
Tapi toh Sang Maha Cinta berkehendak lain. Gadis mendekati sempurna itu mengharapkan hatinya. Keluarganya pun mendukung tanpa melihat strata sosial seorang Mahmud Amrullah.
Huff. Mahmud mengembuskan napas kasar, entah sudah yang keberapa kali dalam malam ini. Ia berusaha keras mengusir bayangan-bayangan tentang Azizah, namun sulit. Hatinya dipenuhi keresahan. Memupus harapan yang sudah dua tahun ini tersemai di hati tentu tidak mudah. Masih ditambah pula harus menyampaikan pengunduran diri kepada keluarga yang begitu dia hormati. Tentu saja malam ini menjadi waktu yang teramat berat untuk dilalui.
"Wudhu kono, lho, Am. Sholat. Nyenyuwun karo Gusti Allah, biar hatimu tenang. (Wudhu sana, lho, Am. Salat. Meminta kepada Allah, biar hatimu tenang)." Nasihat ibu membuatnya semakin nelangsa. Jika bukan karena permintaan sang ibunda, tentu saja ia tak perlu gundah gulana semacam ini.
Menukar impian indah bersama Azizah yang bagaikan permata, dengan menikahi Astri yang telah ternoda, jelas bukan sesuatu yang bisa orang lakukan dengan sukarela. Tapi kandasnya harapan tentang cinta dan kehidupan bersama Azizah, tentunya tak sebanding dengan limpahan kasih sayang serta doa-doa baik dari ibu, yang tak henti mengalir bahkan sejak sebelum dia memulai hidupnya di dunia.
Mahmud melangkah ke *kolah, lagi-lagi menuruti ibunya agar ia berwudu dan melaksanakan dua rakaat. Memohon kepada Sang Maha supaya memberi ketenangan dalam hatinya.
*kolah: kamar mandi kecil, biasanya tidak terdapat closet, hanya untuk berwudu, mandi, atau buang air kecil.Setelahnya ia hendak tiduran di bale-bale, didapatinya sang ibu telah menunggu di tempat yang menjadi tujuannya. Tak bisa mengelak. Mahmud yang sebenarnya sedang tak ingin bicara pada akhirnya duduk di samping ibunya. Siapa tahu percakapan dengan ibu menjadi wasilah hingga hatinya mendapatkan sakinah, begitu yang ada dalam pikirannya.
"Am, wong urip kui mung sak dermo nglakoni, sing ngatur wis ono, yo kui Ingkang Maha Kuwoso. (Am, orang hidup iti hanya sekadar menjalankan, yang mengatur sudah ada, yaitu Yang Maha Kuasa)." Mukadimah telah ibu utarakan.
"Tinggal kamunya, memilih untuk menjalankannya seperti apa? Mengisinya dengan apa? Apakah dengan kebaikan? Atau sebaliknya, dengan keburukan? Bahkan ketika kamu dihadapkan pada dua pilihan yang semuanya adalah kebaikan, maka kamu harus bisa menentukan mana kebaikan yang lebih memberi manfaat, tak hanya untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk lebih banyak orang.
"Seperti yang kamu hadapi sekarang ini. Menikah dengan Ning Azizah kelak, adalah sebuah kebaikan. Kalian bisa menjadi pendidik bagi generasi penerus, melahirkan zuriah dengan nasab baik dan penuh kemuliaan, juga hal-hal baik lainnya. Menikahi Astri sekarang ini, juga adalah sebuah kebaikan. Kamu menyelamatkan saudaramu sesama muslim dari aib yang besar, membalas banyak hutang budi dari bapak ibu kepada keluarga Prawiro, juga bisa membimbing Astri agar menjadi manusia yang lebih baik, menjadi ibu yang baik, dan mengeluarkannya dari kubangan dosa serta kehinaan.
"Kamu hanya harus melihat dengan menggunakan hati nuranimu, Am. Jika sekiranya kedua pilihan sama-sama memiliki banyak manfaat, maka kamu bisa memilih mana diantara keduanya yang dapat menghindarkan dari lebih banyak mudharat. Mungkin bukan pilihan yang bagus menurut kehendakmu, tapi belum tentu demikian menurut Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
"Bukankah Allah sudah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 216, Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
"Ibu sudah pantas betul jadi ustadzah, sampai hafal ayat-ayat segala." Mahmud mencoba mencandai ibunya. Terlihat kelegaan yang luar biasa pada wajah yang masih menyisakan sisa kecantikan di sela kerut-kerut penuaan.
"Itu ayat yang sering disebut sama Pak Yai. Yo ibu apal, wong amben minggu melu pengajian nang mesjid, Am. (Ya ibu hafal, orang tiap pekan ikut pengajian di masjid, Am)." Mahmud tertawa bersama ibunya, melepaskan sejenak beban yang memberati dada.
"Maafkan Aam ya, Bu. Maafkan kalau masih menunjukkan kegalauan. Harusnya tidak begini di depan ibu."
Ibunya mendekat, meraih jari-jari anaknya yang agak kasar karena banyak bekerja. "Ya nggak begitu, Am. Justru di depan ibulah kamu harus menunjukkan kegundahan hatimu. Karena yang kamu punyai saat ini ya cuma Gusti Allah dan ibu. Memangnya kamu mau melepaskan kegundahan ke mana lagi?
"Maafkan ibu ya, Am, ibu jadi seolah memaksamu untuk sesuatu yang tidak kamu inginkan. Kita lillahi ta'ala ya, Am, semoga Allah mencatat keputusan kita ini sebagai pemberat amalan di hari perhitungan nanti."
Ibu Mahmud menghapus basah di matanya, lalu jemarinya yang mulai kisut menyeka kedua sudut mata anak lelakinya. Satu-satunya yang dia miliki, yang untuknya dia rela melakukan apa saja, sekalipun mengorbankan nyawa.
Ibu dan anak laki-lakinya hanyut dalam linangan air mata. Kesedihan, patah hati, gulana, juga keharuan menyelimuti mereka di tengah dingin malam yang menusuk tulang. Hanya kepada Allah mereka bersandar, hanya rida-Nya yang mereka harapkan, dan hanya kasih sayang-Nya yang menjadikan mereka memiliki kekuatan.
***
Hampir lupa update. Aku malah udah ketiduran segala. Biasalah emak-emak, nemenin bocah tidur, eh emaknya yang pules duluan. Hehe...
Dan sebelum tidur lagi, aku update dulu deh. Semoga cukup menghibur yaaa.
Terima kasih sudah membaca.
See you :)
Purwodadi, 08092021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...