Happy reading :)
***
Mahmud terjaga. Hari masih sangat dini, tapi Astri sudah tidak ada di sampingnya. Diedarkannya pandangan ke seantero kamar, yang dicari tetap tidak ditemukan. Dia memutuskan untuk keluar, namun urung saat suatu percakapan terdengar.
"Mas Aam tuh nggak pernah bisa marah, Bu. Sabarnya kayak nggak habis-habis. Padahal aku nyolot terus. Aku sendiri tuh sebenernya udah tahan-tahan biar nggak kurang ajar atau ngomong yang bikin Mas Aam tambah kesel, tapi nggak bisa. Nggak tahulah ini, lambeku angel banget dijak kompromi, tapi Mas Aam ya tetep sabar, Bu. Makanya aku takut banget mas ninggalin aku, Bu. Aku itu udah bejo banget punya suami sebaik Mas Aam. Allah udah baik banget sama aku, orang berdosa begini malah dikasih suami yang baiknya masya Allah."
Berikutnya terdengar suara kekehan ibunya. Mahmud menajamkan pendengaran.
"Allah memberikan sesuatu tidak pernah tanpa tujuan, Nduk. Kalau kamu merasa bukan seseorang yang baik tapi dikasih suami yang menurutmu sangat baik, itu karena Allah ingin kamu menjadi lebih baik. Itu berarti kamu dikasih kesempatan untuk memperbaiki diri, menjadi lebih baik lagi.
"Kalau ibu nggak yakin Aam bisa dan kamu bisa, ibu dulu nggak akan meminta Aam buat menikahi kamu, tapi---"
"Yakin seperti apa maksudnya, Bu? Mas Aam bisa dan aku bisa itu seperti apa?" Astri memotong bicara ibu mertuanya. Sesuatu yang sudah biasa terjadi sejak perempuan keras kepala itu masih kanak-kanak.
"Yakin kalau Aam bisa bersabar menghadapi kamu, dan yakin kalau kamu bisa manut sama masmu." Astri mengangguk-angguk mendengar jawaban sang ibu mertua.
"Kalau menurut Ibu, mas bakalan ceraiin aku nggak, Bu? Mas masih suka sama Azizah nggak sih, Bu?"
"Hush, sembarangan saja kalau bicara. Ibu kenal Aam, Nduk, dan kamu nggak perlu kuatir. Selama dia masih mencintai ibu, perempuan yang akan dia cintai ya cuma kamu."
Astri memeluk ibu mertuanya, terisak-isak di bahu perempuan yang paling berarti dalam hidup suaminya. Astri tahu betul, Mahmud adalah orang yang paling mencintai ibunya, ada atau tiada sosoknya. Itu berarti cintanya pada sang ibu juga akan ada sampai habis usia Mahmud di dunia. Dan itu berarti....
Ah, Astri merasa sangat bersyukur. Rangkaian doa baik terucap untuk suaminya, juga untuk hubungan mereka berdua.
Mahmud membuka pintu dengan perlahan, mendekati dua perempuan yang dia cintai yang sedang berpelukan.
"Kamu laporan apa sama ibu, Nas?" tanyanya sambil memosisikan duduknya di samping Astri. Astri kaget, malah mengalihkan pelukan kepada Mahmud.
"Aku nggak tahu apa yang kamu obrolin sama Ibu dari tadi. Aku cuma dengar yang terakhir, dan insya Allah yang dikatakan Ibu benar, Nas. Jadi, jangan diulang-ulang lagi kekhawatiran dan kecemburuanmu. Nggak enak aku dengarnya, Nas."
"Iya, aku minta maaf. Tapi Mas udah nggak marah, kan? Terutama soal..., Azizah."
"Kalau kamu bahas itu lagi, aku marah." Astri mengangguk cepat, tak mau Mahmud marah. Mahmud terkekeh sendiri, merasa aneh dengan sok-sokan mengancamnya pada Astri. Bukan dia banget.
"Kamu tadi bangun jam berapa, Nas?"
"Jam dua. Farhan nangis."
"Kok tumben aku nggak dengar, ya?" Biasanya Mahmud yang lebih dulu terbangun kalau Farhan menangis.
"Mas tidurnya pules banget. Capek banget kayaknya. Mana meluk akunya kenceng banget, aku sampai engap. Tapi karena cinta, jadi aku tahan engapnya. Mas capek gara-gara nahan marah ke aku, ya? Maaf ya, aku memang nyebelin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...