28. Keadaan yang Sulit

2.7K 367 38
                                    

Happy reading :)

***

Pengunduran diri Mahmud tidak diterima oleh pihak pondok, terutama Gus Faqih. Kesepakatan yang tercapai adalah Mahmud masih akan berada di sana sampai akhir tahun ajaran. Yang bisa dilakukan Astri tentu saja hanya menerima. Menyampaikan alasan sebenarnya dia tak ada keberanian.

Hingga hampir sebulan berlalu, Astri masih berusaha menyimpan sendiri fakta yang menyelimuti pernikahan mereka. Namun serapat apapun Astri berusaha menyimpan, lama kelamaan keanehan itu tercium juga.

Sudah dua pekan terakhir Mahmud mengamati perilaku Astri. Istrinya itu terlihat sering melamun. Makan seperlunya, bicaranya juga berkurang, bahkan yang biasanya tiada hari tanpa mengomel atau menggerutu, sekarang ini repetan Astri jarang sekali terdengar. Saat Mahmud tanya, ada saja alasan yang Astri kemukakan. Merasa gemuk lah, mencoba untuk nggak banyak bicara yang sia-sia lah, apa saja.

Astri makin hari tampak makin kurus. Kepada Mahmud dan Farhan, Astri masih melayani seperti biasanya, tapi untuk dirinya sendiri Astri terlihat agak abai. Mahmud tak tahan lagi. Selama ini dia selalu bersabar dan tidak banyak komentar atau pertanyaan. Hanya saja kondisi kali ini menurutnya sudah tidak bisa dibiarkan.

"Nas, aku mau bicara serius ke kamu. Kamu nyamannya kapan?"

Pertanyaan Mahmud sore itu membuat Astri gelagapan. Dia tidak siap, bahkan tidak akan pernah siap. Rasanya lebih baik ditelan bumi saja daripada harus bicara serius, berdua dengan suaminya.

"Eh, ak-aku nggak kenapa-kenapa kok, Mas. Aku b-baik-baik aja."

"Aku nggak tanya kamu kenapa, Nas. Aku cuma tanya, kira-kira kapan kita bisa bicara serius? Kapan kamu nyaman untuk melakukannya? Aku suamimu, Nas. Kalau ada masalah, bagilah ke aku, jangan disimpan sendiri. Selama ini aku diam karena takut membuatmu makin tertekan, tapi ini sudah terlalu lama, dan nggak bisa dibiarkan.

"Aku minta maaf kalau kita masih harus di sini. Kalau kamu nggak nyaman, dan tinggal di dekat orang tua kita mungkin lebih baik buat kamu, aku izinkan kamu sama Farhan untuk pulang lebih dulu. Sekalian pindah juga nggak apa-apa. Kamu cuma harus percaya kalau aku nggak akan mengkhianati kamu, nggak akan mengkhianati kepercayaanmu.

"Aku cuma mau yang terbaik buat kamu, Nas. Buat Farhan. Buat kita. Aku sayang sama kamu dan anak kita. Maafkan aku."

Tangis Astri meledak, memeluk Mahmud dengan bahu berguncang hebat.

"Aku yang minta maaf, Mas. Aku yang nggak pantas ada di hidupnya, Mas Aam. Aku udah menghancurkan mimpi-mimpimu, Mas. Sekarang aku menghancurkan hidupnya Ning Azizah juga. Aku nggak tahu, Mas. Aku beneran nggak tahu dengan siapa Ning Zizah mau menikah. Aku telat, Mas. Aku telat tahunya. Maafin aku. Maafin aku, Mas."

Di sesela tangisnya, Astri berkali mengulang kata maaf, aku nggak tahu, dan aku menghancurkan hidup Mas Aam dan Azizah. Sungguh, Mahmud tak paham. Otaknya sudah dikerahkan untuk berpikir maksimal, tapi tetap tak ada jawaban pasti yang dia dapatkan.

"Tenang dulu, Nas. Ini ada apa? Soal Ning Azizah aku sudah melepaskan perasaanku sejak lama. Kamu tenang saja. Jangan bicara sambil nangis, aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan."

Tak sedetikpun Mahmud melepaskan pelukannya kepada Astri. Dan tak sedikitpun terlintas di pikirannya tentang apa yang akan dikatakan Astri berikutnya.

Astri sendiri yang melonggarkan pelukan, kemudian menatap mata suaminya dalam-dalam. Dengan penuh kekhawatiran dia menyampaikan apa yang selama ini disembunyikan.

"Ning Azizah, Mas. Suaminya. Dia..., d-dia b-bapak biologisnya Farhan. Maafin aku, Mas." Tangis Astri pecah kembali. Hanya saja, kali ini dia sendiri. Tak ada pelukan yang menenangkan. Tak ada nasihat yang menguatkan.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang