Happy reading :)
***
Astri mengakhiri riasan wajahnya dengan menyemprotkan setting spray. Setelah memeriksa sekali lagi di cermin, dia segera memasang jilbab ungu pastel yang serasi dengan gamis sutra yang dikenakannya. Siang itu mereka -dia dan Mahmud- akan menghadiri pernikahan Ning Azizah.
Mahmud masuk ke kamar untuk kesekian kali, memastikan Astri sudah siap. Dia tertegun menemukan istrinya terlihat begitu menawan.
"Eh, emm..., udah siap, Nas?"
"Belum. Kurang dikit."
Mahmud diam saja, hanya keheranan karena sudah lebih dari satu jam dan Astri tak juga selesai berdandan.
"Tinggal dikit aja kok. Ini lho tinggal pakai kaus kaki. Nanti kalau nggak pakai, terus kakiku kelihatan, aku diceramahin lagi sama bapaknya Farhan." Mahmud tersenyum mendengar sindiran istrinya.
"Perlu dipakaikan atau bisa sendiri, Nas?"
"Ehk." Astri nyaris tersedak. Tak yakin kalimat barusan keluar dari lisan seorang Mahmud yang pemalu dan pendiam.
"Aku nggak salah dengar, kan?"
Mahmud mendekat. "Duduklah," perintahnya pada Astri. Kemudian dia berlutut dan dengan cekatan memakaikan sepasang kaus kaki pada kedua kaki sang istri.
"Kamu cantik, Nas. Nggak sia-sia dandan lama banget."
Astri cemberut. "Iyalah. Demi tampil lebih cantik dari pengantin perempuannya."
"Masih nggak percaya sama aku, to?" Mahmud meringis.
Bukan satu dua kali Mahmud meyakinkan Astri dalam satu bulan terakhir ini. Setiap hari dicurigai, pulang disambut dengan cemberut, berangkat dilepas dengan peringatan keras, semua karena Astri khawatir Mahmud akan berpaling pada cinta lama dan meninggalkannya.
"Karena aku nggak bisa membaca hatimu, Mas."
"Ya sudah, ayo berangkat."
Keduanya segera berpamitan pada ibu Mahmud dan Bu Prawiro yang sedang berkunjung. Sebuah kebetulan keduanya datang kemarin malam, mereka jadi tak perlu mengajak Farhan. Astri sendiri tak bisa membayangkan bagaimana repotnya membawa bayi ke kondangan.
Di mobil, Astri sekali lagi mengultimatum suaminya untuk tidak berlama-lama berada di sana. Dia tak rela Mahmud punya banyak kesempatan untuk memandangi seseorang yang pernah sangat berarti di masa lalunya.
Mahmud pula kembali meyakinkan dengan kalimat yang tak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Dia sudah kehabisan kata untuk menjelaskan pada Astri yang keras kepala.
"Suaminya orang Jogja, Nas. Bapaknya guru besar di salah satu universitas di sana. Dulu waktu masih muda pernah mondok bareng Pak Kyai. Beliau berdua berteman baik sampai sekarang. Makanya pas tahu Azizah sudah selesai kuliahnya dan pulang ke Indonesia, beliau berniat menjodohkan Azizah dengan anaknya." Mahmud mengalihkan topik, memaparkan profil pengganti dirinya bagi Ning Azizah.
Tak terlintas prasangka apapun dalam benak Astri, sampai mereka tiba di gedung tempat resepsi digelar, dan dia membaca nama mempelai pria. Fais Al Andalusi.
Astaghfirullah hal adzim. Kak Isal? Semoga cuma sama namanya. Tapi....
Keringat dingin mendadak membasahi telapak tangannya, bersamaan dengan detak jantung yang berpacu cepat tanpa irama. Astri berusaha menghibur dirinya sendiri. Menolak praduganya tentang si pengantin pria.
Ingatannya melayang pada profil orang tua pengantin pria yang disebutkan Mahmud dalam perjalanan tadi, seorang guru besar di salah satu universitas di Jogja. Kemudian beralih mengingat seseorang yang pernah merayu hingga dia kehilangan kehormatan dan meninggalkan benih hingga terlahirlah Farhan. Ketiga fakta terkoneksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...