21. Malam yang Panjang

3.1K 354 18
                                    

Happy reading :)

***

Astri menangis sebelum memulai cerita. Tersedu-sedu di depan bapak dan ibunya.

Yang pertama diceritakan adalah kebaikan dan kesabaran Mahmud sepanjang menjadi suaminya. Lalu pernyataan cinta yang sore tadi baru pertama kali didengarnya. Juga kecemburuan Mahmud saat mereka bicara tentang laki-laki yang menghamilinya.

Cerita ditutup dengan pengakuan bahwa Astri takut kehilangan. Mahmud sudah menjadi bagian dari hidupnya, dan sama seperti yang laki-laki baik itu rasakan, Astri pun mencintainya, bahkan jauh sebelum Mahmud mengungkapkan cintanya kepada Astri.

"Dia menghubungi aku lagi, Bu." Sesuatu yang membuatnya galau meluncur sudah di hadapan sang ibunda.

"Dia siapa, Nduk?" Bu Prawiro tak langsung paham.

"Dia, Bu. Bapaknya anak ini," bisik Astri sambil mengusap perutnya dengan lemah. Ia sudah pasrah jikapun bapaknya akan marah.

"Astaghfirullah hal adzim," gumam Bu Prawiro.

"Aam tahu?" Pak Prawiro angkat bicara. Tidak ada marah. Delapan bulan sudah Mahmud menjadi anggota keluarga Prawiro, dan secara diam-diam, sikap sabar dan tenangnya menginspirasi sang bapak mertua.

"Nggak, Pak. Makanya aku bingung. Aku mau bilang Mas Aam, tapi aku takut dia marah dan ninggalin aku. Butuh waktu lama buat kami untuk sampai di tahap ini. Aku nggak mau semuanya sia-sia."

"Dia menghubungi kamu di mana, Nduk?" tanya bapaknya lagi.

"Di email, Pak."

"Ya sudah, nggak usah digagas. Biarkan saja."

"Tapi, Pak..., dia bilang mau ke Pekalongan, dan dia mau cari aku, Pak. Aku takut." Astri mulai terisak-isak.

"Buat apa mencari kamu?! Dia sudah mencampakkan kamu, sekarang setelah kamu bahagia, kenapa dia datang?!" Pak Prawiro mulai kehilangan ketenangan. Nada bicaranya naik satu tingkat.

"Apa dia tahu kalau kamu hamil, Nduk?" Seperti biasanya, Bu Prawiro masih bisa menjaga kepala dan hatinya untuk tak memanas.

"Harusnya nggak tahu, Bu. Nggak ada yang kukasih tahu karena sama Mas Aam benar-benar nggak ada yang boleh tahu. Aku juga udah ganti nomor handphone kan, Bu. Mas Aam juga nyuruh aku menutup semua akses dengan teman-temanku di Jogja, dengan siapapun yang pernah kenal aku waktu di Jogja. Sebenarnya aku kesepian, Bu, tapi udah aku kuat-kuatkan karena melihat kebaikan dan kesabaran Mas Aam.

"Tiap hari dia kumarahin, kuomelin, kukata-katain, dia nggak pernah marah, nggak pernah tersinggung, nggak pernah ninggalin aku. Tapi dia nggak suka banget kalau aku bicara tentang mantanku itu, Bu. Aku takut nantinya dia tahu tentang ini, terus dia ninggalin aku." Tangis Astri makin keras. Kedua orang tuanya lupa mengingatkan, bahwa menangis bisa membuat napasnya sesak lagi.

"Nduk, soal itu kamu tenang saja. Percayalah, Aam bukan orang yang mudah menuruti emosi tanpa menggunakan akalnya. Apalagi bukan kamu yang memulainya. Kamu nggak menanggapi emailnya, kan?" Astri menanggapi pertanyaan ibunya dengan gelengan kepala.

"Ya sudah, nggak usah nangis, nggak usah khawatir. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja."

"Tapi aku takut dia beneran cari aku di Pekalongan, Bu. Dia itu orangnya pantang menyerah. Kalau sudah punya kemauan, pasti kukuh buat berusaha mewujudkannya, Bu."

"Termasuk kemauannya untuk mengambil kehormatanmu, heh?! Terus di mana kemauannya untuk bertanggung jawab saat kamu hamil karena perbuatannya?! Buat apa sifat kukuh mewujudkan kemauan, kalau itu dilakukan juga dalam hal keburukan?! Buat apa pantang menyerah kalau tidak punya rasa tanggung jawab?! Laki-laki macam apa itu?! Bisanya cuma merusak anak orang! Itu namanya berengsek! Baj***an!" Amarah Pak Prawiro meledak. Tangis Astri turut pula pecah.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang