23. Penyebab Kerisauan

2.7K 368 35
                                    

Happy reading :)

***

Dua jarum jam bertemu di angka sembilan, derum mobil terdengar dari halaman. Astri beranjak dari tempat tidur, hendak membukakan pintu untuk suaminya. Di depan pintu kamar dia bertemu sang ibu mertua, dipersilakannya beliau untuk kembali beristirahat saja. Ibu Mahmud mengiyakan, sekali lagi berpesan agar Astri banyak beristirahat.

"Dari mana aja, jam segini baru pulang?" sambut Astri. Nada bicaranya tak enak didengarkan.

"Dari rumah sakit," jawab Mahmud singkat.

"Ya itu aku ngerti, Mas. Tapi kok lama banget. Biasanya juga sejam udah balik. Kan Mas cuma ngantar ASIP aja, nggak ada keperluan lainnya."

"Aku ketemu dokter Naima, Nas, jadi aku tanya tentang perkembangan anak kita."

Hanya mendengar Mahmud menyebut anak kita saja, ada perasaan lega dalam diri Astri. Dia benar-benar takut Mahmud akan pergi.

"Gimana keadaan anak kita, Mas? Dia bisa minum ASI-ku, kan? Kapan boleh pulang?" cecar Astri.

"Alhamdulillah, kata dokter keadaannya makin membaik dan sudah mulai stabil. Dia anak yang kuat, Nas, seperti kamu. Dalam dua hari ke depan akan dipantau lagi perkembangannya, kalau stabil, lusa sore bisa pulang.

"Oh iya, tadi dokter Naima mencari kamu, Nas. Beliau menanyakan kondisimu. Kalau kamu sudah sehat dan cukup kuat, besok ikutlah ke sana, bidan akan ngajarin kamu menyusui anak kita. Kamu akan memberikan ASI sambil memeluknya, Nas. Skin to skin. Kamu pasti bahagia."

Astri mengucap hamdalah, kedua pipinya perlahan membasah. Ada haru menyerbu. Mahmud menarik sehelai tisu, menyodorkan pada istrinya.

"Kenapa sih Mas nggak romantis? Dilapin sekalian bisa, kali? Masa iya cuma nyodorin tisu. Punya tangan buat apa?" Sifat kekanakan Astri kambuh lagi. Merajuk, minta dibujuk.

"Buat ngambil tisu dan ngasihin ke kamu lho, ya."

"Ya tapi kan Mas bisa sekalian ngelapin pipiku pakai tangannya Mas. Mas nggak sayang sama aku, kan?"

Mahmud berdecak heran, bibirnya mengguratkan senyum jenaka. "Justru karena aku sayang sama kamu, Nas. Aku baru datang dari rumah sakit, belum sempat cuci tangan dan ganti baju, kamu udah nyegat aku macam begal. Kalau dilap pakai tanganku, bisa aja mikroorganisme dari rumah sakit yang menempel di tanganku pindah ke wajahmu. Jadi---"

"Pintar ya kalau suruh bikin alesan. Mas nggak cuma ke rumah sakit, kan?"

"Iya. Aku mampir di masjid, salat isya dan tilawah sebentar. Aku butuh menenangkan diri setelah obrolan kita sore tadi, Nas," jawab Mahmud apa adanya, tak ada yang ditutupi.

Astri yang baru saja garang bagai singa mendadak ciut bagai curut. Topik tentang laki-laki dari masa lalu menjadi sesuatu yang menakutkan baginya.

"Kamu membalas emailnya?"

Mahmud tak suka berbasa-basi, apalagi untuk bahan pembicaraan yang tidak dia sukai. Hampir sembilan bulan dia menjadi suami dari teman masa kecilnya. Menumbuhkan cinta bukan sesuatu yang mudah, meski tak pula sesulit yang dia kira. Perasaan khawatir tentu saja ada. Astri sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dia sudah jatuh cinta, walaupun tak banyak kata yang dia katakan untuk mengungkapkan itu semua.

Kalau Astri cemas Mahmud akan meninggalkannya, Mahmud pun memiliki kecemasan sama. Rasa was-was itu ada. Dia tak siap kalau laki-laki itu datang lagi, lalu Astri terbawa pada memori. Secara hukum dia jelas di atas angin, tapi entah soal hati, Astri kadang sulit diprediksi.

"Nggak."

"Oke. Hapus akunmu sekarang juga. Aku kan sudah bilang, tutup semua akses yang bisa membuatnya menghubungi kamu. Juga akses ke teman-temanmu yang juga satu circle dengan dia."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang