32. Sebuah Pengakuan

3K 385 43
                                    

Happy reading :)

***

Waktu Mahmud di pondok tinggal tersisa beberapa hari. Semua pekerjaan yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran sudah dia selesaikan. Surat pengunduran diri juga sudah resmi dia ajukan lagi. Kali ini, Gus Faqih dan Pak Kyai mau tak mau harus menyetujui. Meski beberapa kali mengulang permintaan mereka agar Mahmud tetap tinggal, tapi jawaban Mahmud tetap sama, tidak bersedia.

Amanah yang diberikan kepadanya pun telah Mahmud laksanakan dengan baik. Itu berarti hampir tiga bulan ini dia sering bersinggungan dengan Gus Fais untuk urusan kerumahtanggaan pondok. Tidak setiap hari bertemu, sebab Fais sendiri masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan di Jogja, sebelum mencurahkan seluruh waktunya untuk ikut membesarkan pondok nanti.

Sepanjang perkenalannya dengan Fais, Mahmud merasa laki-laki itu adalah sosok yang mendekati sempurna. Selain tampan dan mapan, Fais juga sosok yang santun, rendah hati, ramah, senang membantu, dan pembelajar yang baik. Pada Mahmud dia sangat sopan, meski umurnya dua tahun lebih tua darinya. Fais menghormati Mahmud layaknya seorang murid terhadap gurunya.

Pendek kata, Fais adalah seseorang yang sangat pantas bersanding dengan putri Pak Kyai. Tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa Gus Fais dan Ning Azizah adalah pasangan yang sangat serasi. Couple goals.

Sungguh, sama sekali tak ada kesan laki-laki berengsek pada diri Fais Al Andalusi. Kalau saja Astri tidak menunjukkan gelagat seperti orang depresi saat harus menyembunyikan fakta di awal-awal pernikahan Fais dan Azizah, Mahmud mungkin tak akan percaya bahwa Fais adalah seorang yang punya masa lalu tidak baik. Yang begitu saja meninggalkan seorang wanita, setelah merenggut kehormatannya.

Mungkin benar kata ibu. Bisa jadi Gus Fais sudah melakukan taubatan nasuha dan telah berazzam untuk tidak mengulang atau mendekati dosa yang sama, batin Mahmud untuk kesekiankalinya sepanjang perkenalan dan kedekatannya dengan Gus barunya.

Dengan Mahmud, Fais beberapa kali bertanya tentang keluarga, tentang kampung halaman Mahmud, kisahnya bisa sampai kuliah di Mesir, ceritanya selama menjadi santri di pondok Pak Kyai,  sampai bertanya mengenai istri Mahmud yang —semua sudah tahu— tak pernah ikut kegiatan pondok.

"Dia bukan dari kalangan santri, Gus. Merasa keilmuannya masih sangat kurang, makanya dia belum percaya diri untuk ikut bergabung bersama yang lain di sini. Sejauh ini masih nyaman belajar bersama saya di rumah." Begitu jawaban yang pernah Mahmud berikan.

Fais juga pernah bertanya di mana Mahmud tinggal, yang dijawab dengan menyebutkan nama perumahannya saja. Mahmud selalu ekstra hati-hati berbicara dengan Fais, sebab terpeleset sedikit saja bisa berakibat rahasia istrinya terbongkar. Bahkan bisa saja membuatnya kehilangan anak dan istri karena....

Ah, sudahlah. Membayangkannya saja sudah membuat hati Mahmud nyeri.

"Assalamualaikum, Ustadz Mahmud. Tumben ngelamun, lagi mikirin apa, Tadz?" Sebuah salam tertuju untuknya. Pertanyaan yang mengikuti menunjukkan si penyapa sudah mengamatinya sejak beberapa saat sebelumnya.

"Waalaikumussalam, Gus." Mahmud hanya menjawab salam saja, tidak untuk pertanyaan yang diajukan, sebab yang ada di pikirannya saat itu adalah si penanya sendiri. Sedangkan berbohong bukan keahliannya.

"Ustadz Mahmud beneran mau resign? Dipikir ulang lagi lah, Tadz. Pondok masih membutuhkan njenengan (Anda)."

Gus Fais berjalan menuju bangku kayu di bawah pohon jambu, kemudian duduk di sana. Mahmud menyusul, melakukan yang sama.

"Tidak begitu lagi setelah ada njenengan, Gus. Saya di sini karena mencintai pondok. Pondok ini sudah seperti rumah kedua buat saya. Sebagian besar pelajaran berharga dalam hidup ini saya peroleh sejak masuk ke pondok. Bahkan saat di Mesir pun kami, saya dan beberapa teman alumni sini, tetap menyimak perkembangan pondok dan berdiskusi soal pondok. Cuma pada akhirnya, nggak semua dari kami kembali ke sini. Saya termasuk sebagian kecil yang kembali. Salah satunya karena kampung halaman saya yang dekat dari sini."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang