Enjoy reading :)
***
Setaun berlalu tanpa terasa. Pesantren kecil dan TPQ yang menjadi cita-cita Pak Prawiro sudah berdiri sejak delapan bulan lalu. Mahmud yang ditunjuk sebagai pengelola mengajak beberapa ustadz muda di kampung-kampung sekitarnya untuk bersama-sama mengajar dan membesarkan. Semua fasilitas dipenuhi oleh Pak Prawiro. Hanya sederhana memang, tapi warga desa menyambutnya dengan antusias. Apalagi semuanya cuma-cuma. Sepenuhnya diniatkan Pak Prawiro sebagai wakaf dan sedekah keluarganya.
Malam itu Mahmud baru pulang dari musala bersama Farhan. Bocah 23 bulan itu senang sekali mengikuti kegiatan bapaknya. Sore mengajar di TPQ, lalu menjadi imam di musala kampung yang bersebelahan dengan pondoknya, setelah maghrib menyimak setoran tilawah dari orang-orang tua yang telat belajar mengaji tetapi punya keinginan untuk bisa. Sepanjang itu pula si bocah berlarian riang. Nemplok ke bapaknya, pindah ke kakeknya, atau kepada siapa saja yang ada di sana.
Astri menyambut kedatangan suami dan anak sulungnya sambil menggendong Salman, buah hatinya dengan Mahmud yang kini berusia hampir enam bulan. Farhan langsung berlari mencari neneknya, Mahmud masuk ke kamar dengan Astri yang mengikuti di belakangnya.
"Salman tidur, Nas?"
"Iya."
"Kenapa nggak ditaruh aja?"
"Soalnya aku suka mandangin wajahnya kalau lagi tidur. Aku nggak pernah bosan. Persis plek sama bapaknya. Tenang, berwibawa, dan..., gantengnya nggak habis-habis."
"Suami pulang tuh diajak makan malam, bukan dikasih gombalan." Mahmud tertawa, mencubit pipi Astri yang makin berisi.
"Ada yang mau kubicarakan, Nas. Tapi nanti ya. Aku lapar."
Astri menaruh Salman di kasurnya. Lalu membersamai Mahmud untuk makan malam. Mereka masih tinggal seatap dengan bapak dan ibu Astri. Sebenarnya Mahmud ingin berkeluarga sendiri, tetapi Pak Prawiro dan istrinya menghendaki mereka untuk tetap tinggal di rumah yang sama. Mahmud bisa memaklumi, Astri adalah anak tunggal, anak-anak mereka adalah hiburan untuk kakek neneknya.
Jalan tengah dipilih, mereka akan tinggal di rumah yang sama, hanya direnovasi sedikit sehingga ada pemisah antara rumah utama dengan rumah mereka. Astri dan Mahmud tetap akan menjalankan rumah tangganya sendiri. Masak, mencuci, dan sebagainya sendiri. Saat ini proses renovasi sudah selesai. Besok pagi mereka akan mulai memindahkan dan menata perabotan di rumah mereka sendiri.
Tak seperti biasanya, makan malam ini berlangsung dalam diam. Astri mulai menerka, sepertinya yang akan dibicarakan suaminya adalah sesuatu yang serius.
"Farhan tidur sama kita atau sama neneknya, Mas?"
"Sama kita nggak apa-apa, Nas."
"Kalau dia belum ngantuk, apa nggak malah mengganggu pembicaraan kita?"
"Nggak apa-apa. Kita tunggu sampai Farhan tidur."
"Tapi aku yang udah nggak sabar pengen tahu apa yang mau Mas sampaiin. Kayaknya kok serius banget. Aku kan penasaran."
Mahmud menatap mata Astri dengan mesra. "Dasar kamu, ya. Apa-apa kok penasaran."
Hampir jam sembilan, ketika Farhan akhirnya tertidur. Salman juga pulas setelah meneguk ASI sampai puas.
Astri yang sudah tak sabar buru-buru mengambil posisi di samping suaminya. Keduanya duduk di tepi tempat tidur. Mahmud meraih tangan Astri, menggenggam erat jemari sang istri.
"Tadi sore Gus Fais menghubungi aku, Nas," ucap Mahmud hati-hati. Wajah Astri langsung meredup.
"Bukannya Mas udah nggak kontak lagi ya sama dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...