14. Pagi yang Manis

2.6K 338 11
                                    

Happy reading :)

***

Kaki Mahmud menyentuh sesuatu yang terasa dingin, tetapi tangannya seperti menggenggam sesuatu yang menghangatkan. Matanya masih terpejam, otaknya mencoba mengumpulkan kesadaran. Dan begitu membuka mata....

"Astaghfirullah hal adzim." Wajah cantik yang berjarak hanya beberapa centi di hadapannya benar-benar membuatnya terkejut.

Ditariknya secepat kilat tangannya yang sedang menggenggam tangan Astri. Mahmud segera berdiri dan menjauh. Dadanya berdebar tak keruan, sedang lisannya tak berhenti merapal istighfar.

Jam di dinding kamar Astri menunjukkan pukul dua. Mahmud masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan mengambil wudu. Hidupnya telah berubah sejak kemarin pagi, dia harus belajar untuk menyesuaikan diri.

Masalahnya..., dia belum boleh menyentuh sang istri. Tinggal terpisah tentu saja bukan pilihan, karena salah satu tujuan pernikahan mereka adalah aib yang harus disembunyikan.

Mahmud sudah larut dalam sujud-sujud panjangnya. Mengadukan segala kesah kepada Sang Maha Tuan. Hampir jam empat, dia kembali ke peraduan, mengistirahatkan kembali badannya hingga nanti subuh menjelang.

Gedebug.

"Astaghfirullah hal adzim." Tubuh Mahmud terguling jatuh. Beruntung, dipan di kamar Astri tak terlalu tinggi, karpetnya pun empuk dan cukup tebal, Mahmud tak mengalami kesakitan yang berarti.

"Mas tuh curang, ya! Ditemenin tidur di bawah malah akunya ditinggal. Suami nggak bertanggung jawab!" Omelan Astri meluncur meramaikan fajarnya. Rupanya perempuan yang sekarang berstatus nyonya itu kesal karena Mahmud pindah tidur dan meninggalkannya di bawah. Dia pula yang mendorong Mahmud sampai terjatuh dari atas tempat tidur.

"Nggak ada pilihan, Nas. Aku menghindari tidur berdekatan, kamu malah sengaja deketin aku." Mahmud bangkit dan berdiri, lalu duduk di tepi dipan, di sebelah Astri.

"Mas habis salat kah?" Fokus Astri beralih pada sajadah yang masih tergelar menghadap kiblat. Mahmud mengangguk.

"Apa Mas tiap malam salat?" Laki-laki itu mengangguk lagi.

"Biar apa?"

"Banyak hal, Nas. Salah satunya biar lega."

"Maksudnya?" Dahi Astri berkerut, dia kurang paham.

"Ada kalanya kita merasa kalut atas apa yang terjadi pada diri kita. Mau berkeluh kesah, bingung mengadu ke mana. Manusia seringkali lupa, ada Allah, satu-satunya dzat yang selalu ada untuk hamba-Nya, kapanpun, di manapun. Maka bersujud di sepertiga malam adalah salah satu waktu terbaik untuk mengadukan segala keluh dan kesahmu.

"Kenapa sepertiga malam? Karena itu adalah waktu yang istimewa untuk bertemu dengan Rabb-mu. Dalam salah satu hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rabb kita turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni.'

"Begitu, Nas. Apa kamu nggak pernah salat malam?" Astri menggeleng.

"Ngantuk. Aku cuma sekali salat malam, pas Mas Aam suruh aku salat taubat waktu itu." Mahmud tersenyum tipis.

"Kalau kamu mau, kamu bisa mulai melakukannya besok malam. Aku akan membangunkanmu."

"Kalau aku ngantuk?"

"Aku taruh weker di kupingmu."

"Kalau aku tetep nggak bangun?"

"Aku siram air ke mukamu."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang