Selamat membaca :)
***
Mahmud terkejut. Ia tak menyangka pertanyaan yang diajukan ibunya akan berujung pada permintaan beliau agar dirinya menikahi Astri. Mahmud merasa itu tidak mungkin. Dia sudah memiliki rencana masa depan yang indah, setidaknya bagi dirinya, dan beberapa orang yang terlibat dalam rencananya.
"Maaf, Bu. Aam nggak bisa."
"Kenapa, Am? Apa kamu nggak kasihan sama keluarga Pak Prawiro. Kamu ingat kan, keluarga beliau yang selama ini selalu membantu kita. Saat bapakmu jatuh dari pohon kelapa dan harus dioperasi, beliau yang menutup semua biayanya, bahkan sampai sekarang nggak mau diganti. Waktu bapakmu kemudian lumpuh dan nggak bisa bekerja lagi, padahal masih harus rutin berobat, beliau juga yang menutup semuanya.
"Sebenarnya beliau berdua sudah nggak butuh rewang sejak Astri kuliah di Jogja, tapi tetap membiarkan ibu bekerja di sana, membantu di rumah seperti biasanya karena tahu ibu masih butuh biaya, setidaknya untuk makan ibu sendiri. Ibu nggak mau kalau dikasih cuma-cuma. Termasuk bapak ibu bisa nyekolahin kamu sampai lulus aliyah, semua tak lepas dari bantuan beliau berdua. Pokoknya sudah banyak sekali jasa mereka untuk kita, Am. Sekarang ini kesempatan kita untuk membalas kebaikan mereka, ya walaupun mereka sendiri nggak pernah meminta."
"Maaf, Bu. Tapi Aam sudah punya banyak rencana untuk masa depan Aam, Bu."
"Setidaknya kamu bisa memikirkan dan mempertimbangkan semuanya dulu malam ini, Am. Cobalah juga untuk istikharah, memohon petunjuk pada Gusti Allah."
Mahmud diam seribu bahasa. Ia tidak merasa dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, sebab menikahi Astri sama sekali tak ada dalam pilihan hidupnya. Itu adalah permintaan ibunya. Jadi menurutnya, istikharah juga bukan sesuatu yang harus ia lakukan.
"Mungkin Ibu saja yang melakukan istikharah, dan Aam ikut saja apa yang jadi keputusan Ibu. Tapi sebelumnya, izinkan Aam untuk menyampaikan beberapa rencana yang Aam punya untuk hidup Aam, Bu. Mungkin bisa menjadi pandangan dan pertimbangan untuk ibu memutuskan."
Mahmud menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Mencoba tetap tenang sebelum menyampaikan apa yang ada di hatinya.
"Yang pertama, Aam akan mengajar di pondok, Bu. Dari sejak menerima beasiswa ke Mesir dulu, Pak Yai sudah berpesan agar setelah lulus Aam pulang dan membantu beliau mengajar di sana."
"Ya sudah, kamu bisa ajak Astri untuk tinggal di dekat pondokumu. Malah kebetulan, kamu sudah punya pekerjaan, bisa menafkahi anak istrimu dengan penghasilan yang halal dan tetap."
"Maaf, Bu, tapi Aam belum selesai bicara."
"Oh iya, ibu yang minta maaf. Teruskanlah."
"Pak Yai ingin Aam menjadi salah satu penerus untuk mengelola pondok ke depannya, Bu."
"Penerus pondok? Bukannya Pak Yai punya beberapa anak ya, Am? Kenapa kamu yang ditunjuk untuk ikut meneruskan pengelolaan pondok? Apa maksudnya kamu jadi semacam pegawai tetap di sana, begitu?"
"Dibilang begitu juga bisa, Bu. Tapi ini lebih dari itu. Beliau ingin Aam menikah dengan salah satu putrinya. Namanya Azizah. Sekarang masih kuliah tahun terakhir di Mesir, insya Allah tahun depan selesai dan pulang ke Indonesia. Kemarin keluarga Pak Yai mengajak Aam bicara lagi soal itu, Bu."
"Jadi maksudmu, kamu sudah pacaran sama anaknya Pak Kyaimu, begitu? Astaghfirullah, Am. Ya apa bedanya kamu dengan Astri?"
"Ya jelas beda, Bu. Lagi pula kami nggak pacaran, Bu. Kami cuma kuliah di tempat yang sama, di negara yang sama, di kota yang sama. Tapi demi Allah, kami hampir nggak pernah ketemu, Bu, apalagi jalan berdua. Lha tiga tahun bareng di sana, kirim-kiriman pesan saja bisa dihitung pakai jari, Bu. Kalaupun kami pernah jalan bareng, itu juga ada paman dan sepupu perempuannya yang juga kuliah di sana, bukan jalan hanya berdua saja. Begitu, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...