15. Tentang Harga Diri

2.5K 348 16
                                    

Happy reading :)

***

Hari-hari awal menjalani kehidupan sebagai pengantin baru terlewati dengan cukup manis. Astri mau belajar banyak untuk menjalankan peran sebagai istri yang baik. Mahmud pun sama, berusaha menjadi suami sebagaimana mestinya.

Berlama-lama tinggal di kampung halaman tentu saja menyenangkan, tetapi ada waktunya untuk kembali kepada kehidupan yang sebenarnya. Demikian pula Mahmud dan Astri. Hari-hari mereka di desa tinggal hitungan hari. Mahmud harus segera kembali ke kota tetangga untuk melaksanakan pekerjaan barunya, mengajar di pondok tempat dia dibesarkan.

Gus Faqih dan keluarga Pak Kyai bersikeras mempertahankan niat awal agar Mahmud, sebagai salah satu lulusan terbaik pondok, tetap berada di sana. Turut serta membangun pondok dalam mewujudkan visi dan misi besarnya.

"Nas, kamu mau nggak kalau pakai jilbabnya yang agak lebar?" Hati-hati sekali Mahmud bertanya, setelah beberapa hari menunda demi mendapatkan waktu yang pas untuk berbicara tentang hal yang mungkin agak sensitif bagi Astri.

"Kenapa? Aku kan udah nurut banyak hal sama Mas? Masa iya sampai jilbab segala aku harus diatur, sih, Mas?"

"Maaf, Nas, aku nggak ada maksud mengaturmu. Aku paham, semua ada step by step-nya. Aku nggak apa-apa kok kalau kamu masih nyaman dengan jilbabmu yang sekarang ini, cuma...."

"Kenapa ada cumanya? Nggak ikhlas banget." Astri nggerundel.

"Bukan begitu, Nas. Cumaku tadi adalah..., karena di sana nanti kamu akan otomatis dipanggil ustadzah. Sebagai istri asaatidz, tentunya keberadaanmu juga akan dipandang oleh santri-santri di sana nanti."

"Lah, kan yang ustadz Mas, kenapa aku ikut dipandang? Kenapa aku harus dipanggil ustadzah? "

"Ya karena kamu istri ustadz, Nas. Sama seperti di desa kita ini, kalau istrinya Pak Guru dipanggil Bu Guru, istrinya Pak Mantri dipanggil Bu Mantri, istrinya Pak Lurah dipanggil Bu Lurah, dan sebagainya. Begitupun kamu nanti di pondok, santri-santri pasti akan memanggilmu ustadzah.

"Kita nanti akan tinggal di lingkungan pondok, Nas. Di sana ada fasilitas rumah untuk pengajar, termasuk untuk aku, untuk kita. Ya nggak besar sih, tapi cukup lah untuk kita yang baru hidup berdua."

"Kenapa Mas nggak bilang ke aku kalau kita tinggalnya di situ? Aku keberatan, Mas. Aku nggak mau." Astri tak bisa membayangkan, dia yang seperti itu, akan menghabiskan hari-harinya di lingkungan pesantren yang kental akan suasana religius.

"Belum sempat, Nas. Beberapa hari ini masih banyak yang aku urus, kita masih kekurangan waktu untuk ngobrol banyak tentang keluarga kecil kita. Soal tempat tinggal kita di pondok, aku nggak ingin memaksamu, Nas, tapi nggak ada salahnya dicoba dulu. Mau ya?"

"Nanti kalau aku nggak mau, aku dosa nggak karena ngeyelin suami?"

Mahmud tersenyum, pertanyaan Astri sudah cukup membuatnya gembira. Mau ngeyel takut dosa, itu sudah kemajuan yang baik untuk seorang Astri.

"Nggak pa-pa, Nas. Aku nggak menganggap kamu ngeyelin aku, kok. Kamu istri, boleh punya pendapat, asalkan menyampaikannya tetap dengan adab yang baik. Dan aku nggak menutup kemungkinan untuk tinggal di luar, tapi nggak ada salahnya kita coba dulu tinggal di pondok selama beberapa waktu. Itu akan berpengaruh banyak, Nas, terutama pada nafkah yang bisa kuberikan sama kamu.

"Kamu tahu kan, Nas, aku bukan berasal dari keluarga kaya. Pekerjaanku nanti pun 'hanya' seorang guru saja. Ini saja belum kita bicarakan lebih jauh. Intinya, kamu harus siap hidup sederhana dengan aku, Nas. Kita mulai semuanya dari bawah. Nggak apa-apa, ya?"

"Kenapa begitu? Kan ada bapak. Bapak bisa menanggung hidup kita, Mas, bahkan sekalipun kita udah punya anak banyak nanti, uang bapak masih cukup buat memberi kehidupan yang nyaman."

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang