Happy reading :)
***
Sore itu Mahmud masuk ke rumah dengan gontai. Sungguh, dia tak tega mengatakan ini kepada istrinya, tapi tak ada pilihan lain, cepat atau lambat Astri akan tahu juga, jadi Mahmud memilih untuk memberitahukan sendiri kepada Astri. Secepatnya!
Begitu pintu terbuka, Farhan yang muncul dari ruang tengah merangkak cepat ke arah sang bapak. Ocehan-ocehan tak jelas namun membuat gemas tak berhenti meluncur dari bibir mungil si bayi lucu. Beban berat yang dipikul Mahmud hilang entah ke mana. Dia yang tadi lesu, mendadak riang gembira
Digendongnya Farhan segera, mengayun-ayunkan ke atas dan ke bawah sambil menirukan suara pesawat.
"Salam dulu kek, katanya Ustadz, masuk rumah adabnya lupa, istrinya nggak disapa, fokusnya ke anak aja." Astri mengomel sambil cemberut.
Mahmud tertawa menyadari kesalahannya. "Aku udah salam sebelum kamu bukain pintu, Nas. Tapi aku memang lupa nggak nyapa kamu. Farhan mengalihkan perhatianku."
Dihentikannya ayunan pada Farhan. Menggendongnya seperti biasa, lalu mendekat dan mengulurkan tangannya ke arah Astri. Perempuan itu buru-buru menyambut dengan satu kecupan pada punggung tangan Mahmud.
"Mas mandi dulu sana, biar Farhan sama aku. Dari tadi nggak mau bobo, gelisah, agak sumeng. Siapa tahu kalau sama bapaknya terus mau bobo. Aku takut dia sakit, Mas." Astri melaporkan kondisi Farhan seharian ini. Tangan Mahmud spontan menyentuh kening Farhan, lalu leher, juga tangan, dan kaki si bayi.
"Iya, masih anget. Tapi kalau makan tetap mau kan, Nas?"
"Kalau makan sih mau, tetap lahap, persis bapaknya. Lapar nggak lapar kalau disuruh makan iya aja, tapi tetap langsing."
"Fokusmu lho, Nas, ke mana-mana." Astri meringis. Kalau sudah bicara tentang suaminya, rasanya dia tak ingin berhenti. Bahagia.
"Ya udah. Farhan ikut ibu dulu ya, bapak mau mandi biar seger. Nanti kita main lagi." Hidung bapak dan anak itu beradu, Mahmud menggoyang-goyangkan hidungnya hingga Farhan tertawa girang. Lalu menyerahkan Farhan pada Astri.
"Ibunya?"
"Ibunya kenapa?"
"Ibunya mau digituin juga."
Mahmud terkekeh geli. Dicubitnya hidung Astri. "Ibunya gini aja, ya. Dasar genit."
Mahmud berlalu meninggalkan istri dan anaknya untuk mandi. Tak sampai lima belas menit, dia sudah kembali ke ruang tengah dengan outfit rumahan yang seringkali membuat Astri jantungan setiap memandang sang suami.
"Mas, gantengnya bisa dikurangin nggak, sih? Bikin aku nggak fokus bikinin puree buat Farhan."
"Kamu itu yang ngegombalnya bisa dikurangin apa nggak? Geli aku dengernya," balas Mahmud sembari mengambil alih Farhan ke gendongannya.
Tak berapa lama, Astri menyodorkan semangkuk puree apel untuk Farhan. Mahmud menyuapi dengan senang hati. Anak menggemaskan itu memang suka sekali dengan segala rupa buah. Bubur pun demikian. Sama seperti bapaknya, yang tak pernah pilih-pilih makanan.
Usai makan kedua laki-laki beda generasi itu bermain bersenda gurau. Kecrekan, remote TV, boneka kecil berbentuk aneka macam kereta api, juga mainan karet yang sedari tadi digigit-gigit terus oleh Farhan. Mahmud terlihat sangat menyayangi anak itu, meski tak setitikpun darahnya mengalir dalam tubuh si bayi chubby.
"Mas, Farhan udah ngantuk tuh. Mas yang boboin, ya," ujar Astri melihat Farhan menguap beberapa kali.
Mahmud mengiyakan, digendongnya Farhan menghadap ke belakang, pundaknya menjadi penyangga bagi dagu anaknya. Mahmud mengayun pelan sambil mengusap-usap lembut punggung Farhan. Tepat pukul lima, si kecil sudah menyandar lelap pada kepala bapaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...