Happy reading :)
***
Astri menepati ucapannya. Sejak malam dia melihat Mahmud menitikkan air mata karena merasa Astri merendahkan ibunya, sejak itu pula Astri berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya. Dia yakin Mahmud tak akan menduakannya, sebab melakukan itu berarti pula menyakiti hati ibunya.
Perkataan Mahmud juga nyaris semuanya benar. Sejak pekerjaan rumah dia handle sendiri, badannya jadi jauh lebih sehat dan bugar. Astri bahkan sudah pandai mengatur menu keluarga, merencanakan belanja, memasak, juga mengelola keuangan.
Satu-satunya yang belum berubah adalah manajemen emosinya. Mungkin karena Mahmud selalu bersabar menghadapi semua kelakuan Astri. Laki-laki itu tak pernah sekalipun bicara keras pada sang istri. Baginya, tegas bukan berarti harus menyakiti. Apalagi melihat kemauan Astri memperbaiki diri, membuat kesabarannya seakan tak mengenal tepi.
Kehamilan Astri sudah memasuki bulan keenam. Sepanjang itu pula Astri hampir tak pernah mengalami halangan yang berarti. Tak ada ngidam, tak ada mual, tak ada kehilangan nafsu makan, semuanya berjalan dengan normal, hanya perutnya saja yang terlihat makin membuncit. Itupun tak terlalu besar, karena Astri sendiri selalu khawatir tubuhnya akan melar.
"Mas, weekend besok kita pulang, yuk."
Mahmud baru pulang dari mengajar, sore itu dia tak harus kembali ke pondok sebab kelas reguler dan kelas tambahan semua sudah selesai. Jadwal perpulangan para santri juga tak lama lagi akan tiba. Kegiatan Mahmud tak lagi sepadat biasanya.
"Nggak usah nunggu weekend, Nas. Kalau kamu mau, kita bisa pulang ke Batang sekarang. Semua tugasku sudah kuselesaikan hari ini, dan kuserahkan semua kepada guru wali yang kelasnya kuajar."
"Serius, Mas?" Mahmud mengangguk, Astri memeluknya dengan manja. Mengucapkan terima kasih pada suaminya.
"Aku mau bikinin sesuatu buat oleh-oleh ibu, Mas. Tapi apa ya, enaknya?" Dahi astri mengerut. Dia berpikir keras apa yang sekiranya bisa dia buat untuk memberi surprise pada kedua orang tua serta ibu mertua. Sesuatu yang mudah dimasak dan tak butuh waktu banyak.
"Kamu kalau bikin kroket mi keju enak banget lho, Nas." Lewat pujian Mahmud menyampaikan usulan. Dia memang paling bisa membuat hati Astri diselimuti kebanggaan.
Astri mengikuti kata suaminya, memutuskan untuk membuat kroket mi keju. Sekejap kemudian sibuk di dapur, berusaha menyelesaikan adonannya secepat mungkin. Sebagian langsung nyemplung ke penggorengan, sebagian lagi Astri simpan di freezer untuk dibawa dalam bentuk beku.
Sepiring kroket mi dibawa Astri ke ruang tengah, Mahmud sedang membaca di sana. "Aku mandi dulu sebentar ya, Mas. Mas mau makan kroketnya dulu, apa mau mandiin aku?" canda Astri. Mahmud jadi tersipu.
"Aku makan kroket saja, Nas. Maaf ya." Gantian Astri terkikik. Begitu kok ya diseriusi, batinnya.
Suaminya memang lugu sekali. Astri sering terheran sendiri menemukan wujud laki-laki baik hati yang mampu menahan diri begitu rupa. Astri pun pernah bertanya, Mahmud menjawab apa adanya, bahwa satu-satunya yang mendasarinya untuk bisa berlaku demikian adalah takut akan dosa.
Astri berlalu ke kamar mandi di dalam kamar mereka. Mahmud menutup pintu depan, lalu menyusul masuk ke kamar. Bukan mau apa-apa, hanya mengemasi pakaian dan barang lain yang akan dibawa pulang ke desa.
Ting tong.
Suara bel terdengar nyaring. Astri bahkan belum selesai mandi. Mahmud tergesa menuju ruang tamu, mengintip sedikit dari sudut jendela kaca, dan menangkap sosok kedua mertua serta ibunya di depan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bin Fulanah
General FictionKepulangan Mahmud ke kampung halaman disambut masalah pelik. Astri, anak majikan ibunya, hamil di luar nikah. Laki-laki yang menghamilinya tak mau mengakui, apalagi menikahi. Astri memilih menggugurkan kandungannya. Di luar dugaan, ibunda Mahmud mem...