37. Cemburu

4.2K 412 56
                                    

Enjoy reading :)

***

Mahmud tiba di IGD dengan napas tersengal-sengal. Dijumpainya sang ibu sedang mendampingi Astri yang telah siuman.

"Astri kenapa, Bu? Sudah diperiksa? Apa kata dokternya?" Mahmud cukup panik.

"Sabar, Am. Satu-satu. Yang penting Astri sudah sadar dan sudah lebih baik dari sebelumnya. Temani dia dulu, ibu mau cari minum sebentar."

"Biar Aam saja yang cari minum, Bu."

Mahmud langsung melesat pergi. Beberapa detik kemudian dia kembali lagi.

"Piye, Am? Ada yang ketinggalan?"

"Eh, iya, Bu. Aam lupa belum pegang Astri," kata Mahmud apa adanya. Setelahnya dia malu sendiri, harusnya bukan seperti itu kalimatnya. Tapi..., ya sudahlah.

Didekatinya Astri, lalu duduk di samping ranjang IGD. Tangan kanannya menggenggam erat jemari sang istri. Tangan kirinya mengusap kening Astri.

"Harusnya aku nggak ngajakin kamu ke sini ya, Nas. Maaf ya, malah jadi begini. Kamu khawatir ya aku dekat-dekat sama Azizah lagi?" Astri menggeleng, lalu terisak.

"Sudah, Am, nggak usah diajak banyak bicara dulu. Mungkin masih sakit. Katanya mau carikan minum buat ibu." Ibunya menyarankan.

"Tadi Astri kenapa to, Bu?"

"Tadi makan bakso sama ibu. Dia keselek kuah. Tahu sendiri kan, dia kalau makan bakso sambelnya pasti banyak, jadi kalau keselek sampai begitu ya sakit. Sudah, sekarang carikan minum dulu buat ibu."

Mahmud mengikuti perintah ibunya. Dipamitinya sang istri, kemudian melangkah meninggalkan bilik Astri. Di depan tirai, seorang perawat menganggukkan kepala hendak melewati Mahmud. Mahmud menghentikan dan bertanya, dokter siapa yang tadi memeriksa Astri? Setelah mendapat jawaban, dia bergegas pergi. Mencari air minum dulu untuk ibunya, baru kemudian izin keluar lagi mencari dokter yang dimaksud perawat tadi.

"Betul, Pak, Ibu Astri benar tersedak, tetapi kelihatannya ada sesuatu yang menyebabkan itu terjadi. Sayangnya ketika kami tanya, beliau malah menangis. Jadi kami menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang menyebabkan beliau shock atau memicu emosinya. Dari riwayat kesehatan yang kami miliki, Ibu Astri ini pernah beberapa kali masuk ke sini karena sesak napas.

"Karena kondisi Ibu Astri saat ini agak spesial, jadi sampai saat ini tidak kami tanyakan lagi soal itu, dan kami harap keluarga juga tidak perlu bertanya dulu untuk menjaga kondisi beliau agar tetap tenang."

Mahmud mengangguk-angguk saja. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Pertanyaan yang untuk sementara harus dia simpan dulu.

"Oh ya, Pak Mahmud. Saya sarankan Ibu Astri untuk dirawat inap dulu agar bisa beristirahat dengan lebih maksimal dan terpantau. Jika Pak Mahmud setuju, setelah ini Bapak bisa mengurus administrasi."

Mahmud mengiyakan lagi tanpa bertanya panjang lebar. Ini bukan pertama kalinya Astri harus dirawat di rumah sakit yang sama. Mahmud sudah hafal prosedur dan letak loket tempat mengurus ini itu. Dia berpamitan kepada dokter perempuan tersebut. Kemudian menyelesaikan seluruh administrasi untuk urusan penanganan dan rawat inap Astri.

"Nas, jangan banyak mikir yang nggak-nggak. Alhamdulillah, urusan sama Ning Azizah udah selesai. Insya Allah dia akan kembali kepada suaminya, nggak jadi minta berpisah. Kamu nggak perlu merasa terancam lagi. Kita doakan saja, karena dia sendiri tadi minta kita untuk ikut mendoakan." Mahmud memberi penjelasan, setelah mereka ada di bangsal perawatan.

"Aku sendiri nggak tahu gimana kok bisa semudah itu, tapi kalau Allah sudah berkehendak, maka terjadilah. Tak ada yang sulit bagi Allah, bahkan membolak-balik hati manusia. Udah ya, kamu jangan mikir yang nggak-nggak lagi. Insya Allah aku akan selalu ada di sini. Buat kamu. Buat Farhan, anak kita," kata Mahmud lagi.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang