6. Tentang Balas Budi

2.2K 309 14
                                    

Happy reading :)

***

Sore beranjak menua. Satu per satu pekerja meninggalkan rumah Pak Prawiro untuk kembali berkumpul bersama keluarga mereka. Mahmud datang bertepatan dengan pekerja terakhir melintasi gerbang. Ia menganggukkan kepala dengan hormat pada pekerja yang masih bersaudara jauh dengannya.

Pak Prawiro sudah menunggu di teras belakang rumahnya. Sepiring singkong rebus bersisian dengan mangkuk berisi bubuk gula aren. Pak Prawiro suka sekali menyantap singkong rebus dengan taburan gula aren, menikmatinya bersama teh poci gula batu dalam cangkir gerabah. Setoples kacang bawang berdampingan dengan kaleng biskuit berisi emping, komoditi khas dari kecamatan Limpung yang bertetangga dengan kecamatan tempatnya tinggal, Bawang.

Bu Prawiro mempersilakan Mahmud untuk langsung menuju teras belakang. Sepasang sandal rumah disodorkan, Mahmud segera menerima dan mengenakannya. Begitulah dinamika tinggal di dataran tinggi, semakin sore lantai keramik seringkali terasa dingin sekali. Apalagi teras belakang milik keluarga Prawiro separuh terbuka, hingga dingin yang menusuk tulang sangatlah terasa.

Melewati ruang keluarga, Mahmud melihat Astri tengkurap di atas kasur busa, matanya menatap serius pada halaman novel yang terbuka. Tak hendak menyapa, tapi gadis itu keburu mengangkat kepala mendengar suara gesekan sandal dengan lantai. Ia berhenti sejenak, lalu keduanya bertatapan, sekejap saja. Wajah Astri langsung cemberut, sedangkan Mahmud mencoba menahan diri untuk tak terprovokasi atas perubahan air muka si calon istri. Tak ada senyum atau sapa, semuanya dingin, sedingin hawa di desa mereka.

Mahmud bergegas melanjutkan langkahnya. Dalam hati merutuki gadis yang tak lama lagi akan terpaksa ia nikahi. Di saat bersamaan, sisi hatinya turut pula menolak sinyal dari otak, yang mengatakan bahwa gadis nakal itu memiliki paras cantik yang tak membosankan untuk dipandangi.

Astaghfirullah hal adzim. Mahmud mencoba menetralisir keadaan dirinya dengan merapal banyak istighfar dalam hati. Terus begitu, sampai ia tiba di tempat di mana Pak Prawiro menunggunya.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Mahmud. Dengan takzim ia mencium tangan sang calon mertua dadakan, kemudian menaruh badannya pada kursi rotan bersebelahan dengan Pak Prawiro.

"Waalaikumussalam. Piye, Am? Langsung wae yo. (Bagaimana, Am? Langsung saja ya.)" Mahmud mengangguk.

"Jadi, bagaimana langkah yang akan kita ambil untuk segera menikahkan Astri dengan kamu, Am?"

"Nggih, Pak, langsung mawon nggih. (Iya, Pak, langsung saja ya). Yang pertama, Dik Astri harus bertaubat dulu dengan taubatan nasuha, Pak. Menyadari bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar, memohon ampunan kepada Allah karena telah bermaksiat, dan berazzam untuk meninggalkan itu semua. Karena perempuan pezina adalah untuk laki-laki pezina, kecuali dia sudah bertaubat dengan sepenuh hatinya, insya Allah dosa-dosanya Allah hapuskan, sehingga seperti kembali ke titik nol.

"Berikutnya, ya, seperti pengurusan pernikahan seperti pada umumnya, Pak. Insya Allah saya yang akan mengurus sendiri, agar tidak banyak pertanyaan yang berpotensi membuka aib ini ke luaran sana. Kemudian ada satu hal yang ingin saya sampaikan sejak sekarang, Pak."

"Apa itu, Am?"

"Emm..., begini, Pak. Karena Dik Astri menikah dalam keadaan hamil, sedangkan anak tersebut bukan darah daging saya, maka saat anak Dik Astri lahir, saya tidak bisa menasabkan anak tersebut kepada saya."

"Maksudnya?"

"Maksudnya, anak tersebut nanti akan bernasab pada ibunya, Pak. Bin Fulanah atau Binti Fulanah, dalam hal ini Fulanah tersebut adalah Dik Astri. Tapi untuk lebih baiknya, kita ajak Dik Astri ke kota atau ke luar kota untuk bertemu dokter kandungan dan memastikan kehamilannya." Mahmud memberikan usulan.

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang