13. Feel useless

302 52 1
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Farel mengendap-endap untuk keluar dari atap agar kedua adiknya tidak menyadari. Aman, ia berhasil pergi dari atap tanpa diketahui adik-adiknya. Dilihatnya guru olahraga---ia lupa lagi namanya---berjalan menuju atap. Apa ia harus memberitahu adik-adiknya? Tetapi, nanti mereka tahu jika dirinya ada di sana. Akhirnya, ia memilih diam saja.

Di kelas, Farel hanya diam. Kedua adiknya memenuhi pikirannya. Apa yang terjadi pada mereka? Apa yang mereka rasakan? Dan, apa yang harus ia lakukan?

Bahkan, ketika guru datang dan menjelaskan materi pun, Farel masih sibuk dengan lamunannya. Beruntung, gurunya hanya memberikan tugas, jadi ia tidak perlu ditanyai mengapa melamun atau malah dihukum.

"Far, lo kenapa?" tanya Ares, sadar akan perubahan sikap teman sebangkunya setelah membolos, "ketauan bolos?"

Farel menoleh. "Nggak kok," jawabnya.

"Terus lo kenapa? Tumben banget abis bolos kayak gini," desak Ares.

Farel mengembuskan napasnya, dan menjawab, "Pernah gak sih lo ngerasa kalau orang terdekat lo nyembunyiin suatu hal?"

"Pernah."

"Akhirnya lo tau gak hal apa itu?"

"Tau, karena mereka yang ngasih tau gue," jawabnya, "jangan bilang lo ngerasa gitu juga?"

"Sayangnya, iya," jawab Farel jujur, "and I feel useless cause of that," lanjutnya.

Ares menepuk bahunya. "Gue kasih tau lo ...," ucapnya menggantung, "... setiap orang pasti ngerasa ada hal yang masih perlu disimpan baik-baik sendiri sampe akhirnya dia milih buat ngasih tau. Semua perihal waktu. Mungkin mereka butuh waktu buat ngasih tau lo akan hal itu," lanjut Ares.

Farel menghela napas. "Harus nunggu sampe kapan?"

"Sampe mereka mau dan siap. Lo jangan maksa, karena pada akhirnya kalau lo maksa, yang ada mereka malah makin gak mau cerita ke lo."

"Thanks for saying that, Res," ucap Farel bangkit, berjalan menuju toilet.

•••

Fadel dan Dave kembali saling mengobrol untuk mengisi sepi. Tidak jauh-jauh, hanya tentang kegelisahan masing-masing.

"Gue liat, lo kayak ngehindar dari Zian sama Gassan deh. Kenapa?" tanya Fadel.

"Males," jawab Dave.

"Dih, sesingkat itu jawabannya?"

"Ya, terus?"

"Alasan jelasnya apa?"

"Ya udah itu aja."

"Dave, lo 'kan udah deket sama mereka dari lama, masa sih gitu doang?"

"Should I tell him?" batinnya bertanya.

"Ntar deh."

Setelahnya kembali sepi. Mereka asyik menikmati semilir angin yang menerpa kulitnya.

"Fad," panggil Dave, yang dibalas gumaman, "kapan, ya, gue harus ngasih tau sakitnya gue ke gege?"

Fadel menoleh. "Ketika lo siap sama reaksinya gege," jawabnya.

"Kapan---"

Ucapannya terpotong ketika pintu atap dibuka dengan kencang. Mereka bahkan sampai berjengit. Dave yang langsung menunduk sambil mengusap dadanya, karena terasa nyeri dan Fadel yang langsung memejamkan matanya sembari menormalkan detak jantungnya ketika kilas memori terputar di otaknya.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang