42. The Space Between Us: I Don't Mean It

299 51 15
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

⚠️ Self-harm (only mentioned it a little, such a little and I give a sign too)

Selamat membaca

•••

Angin berembus cukup kencang, membuat pohon-pohon di sana bergoyang. Mentari terasa begitu menyengat kulit dan menyilaukan. Netra remaja bermata teduh itu menyipit, lalu mengangkat tangan yang terbebas dari infus, bermaksud menghalau cahaya yang mengenai mata.

Di balkon kamar rawat, ia berdiri sendiri dengan pandangan berfokus pada jalanan ramai di hadapan. Suara klakson sesekali terdengar, meski sebelum memasuki wilayah rumah sakit sudah diberi tanda dilarang menyalakan klakson.

Helaan napas lelah terdengar. Pikirannya terasa penuh dengan semua hal yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi, kedua kakaknya terus menjadi pikiran terbesar. Ia khawatir dengan keadaan sang kakak pertama yang sampai saat ini belum terbangun dan masih berada di PICU. Kemudian, kakak kembarnya yang beberapa hari lalu melakukan hal tak terduga padanya.

Jika boleh ia jujur, hatinya masih sakit karena sang kakak ketika ingat akan kalimat, membuat remaja itu bahkan tidak mau sekadar bertemu. Terakhir bertemu adalah saat tak sengaja menuju tempat yang sama, PICU.

"Dave," panggil seseorang dari ambang pintu, membuat ia berbalik.

"Opa," ucap Dave pelan, berjalan mendekat.

Pelukan hangat menjadi hal pertama yang ia dapat dari sang kakek ketika sampai di hadapan. Opanya itu mencium pipi Dave sekilas, menyalurkan rindu ingin bertemu.

"Sayang," ucap sang oma yang baru memasuki kamar, berjalan melewati Kirana dan langsung menuju ke arah Dave.

"Oma," ucap Dave, melepas pelukan sang kakek dan beralih pada sang nenek.

"Gimana keadaan kamu, hm?" tanya Rina---sang oma, mengusap pipi Dave setelah melepas pelukan singkat.

"Dave udah gak apa-apa," jawab Dave, menatap Rina.

"Kamu ini kebiasaan bilang, 'Gak apa-apa.' mulu," ujar Tio---sang opa. Pria beruban itu mulai kesal karena cucunya terlalu sering berucap tidak apa-apa. Kekehan kecil muncul dari mulut Dave.

Rina mengajak Dave untuk kembali duduk di ranjangnya. Ditatap wajah sang cucu yang terlihat lelah. Usapan lembut di pipi, membuat Dave menyunggingkan senyum manis, senang akan perlakuan sang nenek padanya.

"Kamu keliatan capek, Dave. Istirahat yang cukup, ya," ucap Rina, sesaat setelah memperhatikan wajah tampan cucunya.

Bagaimana tidak? Kelopak mata Dave sedikit menghitam, bibirnya masih tampak pucat, dan rambutnya berantakan---entah berapa hari Dave tidak menyisir rambut.

Dave menunduk, lalu berucap, "Emang lagi capek, Oma." Kalimat ini berhasil membuat Kirana bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri.

Tanpa berbasa-basi, Kirana langsung memeluk Dave dari samping, yang entah kenapa membuat Dave malah menangis.

Mendengar isakan tertahan, dengan lembut Kirana berucap, "Gak apa-apa kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan."

Tio dan Rina yang ada di sana hanya menatap sang cucu. Tidak menaruh curiga apa pun, sebab mereka masih belum tahu mengenai pertengkaran cucu kembarnya beberapa hari lalu.

Pintu kamar rawat terbuka, menampakkan Hayden yang baru datang membawa buah-buahan dan makanan. Melihat kehadiran mertua, Hayden langsung berjalan menghampiri untuk menyalami.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang