Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.
⚠️ mentioning death
Selamat membaca
•••
Akhir pekan ini, keluarga itu tengah sibuk membereskan perlengkapan si bungsu yang sudah diperbolehkan pulang, meninggalkan putranya yang lain berdua di kamar rawat si sulung.
Televisi dinyalakan, menampilkan animasi kartun dinosaurus, tetapi yang menonton hanya si kakak dengan perasaan bosannya. Ingin rasanya memakan makanan yang lebih enak, tetapi lagi, belum diperbolehkan. Jangankan yang lebih enak, minum dan makan saja belum diperbolehkan.
Si adik tengah asyik menonton film di gawainya sembari tiduran. Katanya, sih, baru premium kemarin, membuat ia ingin terus menonton film, karena tidak terganggu oleh iklan yang kadang menyebalkan itu.
Suara buang angin terdengar, bersamaan dengan gawai si adik yang jatuh mengenai wajah. Remaja yang lebih muda itu menoleh ke arah kakaknya sambil mengusap hidung yang terasa sakit setelah menyimpan gawainya di samping. Terlihat kesal, karena suaranya membuat ia terkejut.
"Sorry, Di, tapi tadi nikmat banget," celetuknya kala sadar sang adik yang kesal.
"Lo itu---"
"Eh, anjir! Gue udah boleh minum, dong?" potong Farel, terdengar senang sebab akhirnya bisa minum.
Fadel mendengkus. "Iya, udah."
"Akhirnya."
Sang mama dan adik bungsunya memasuki kamar. Ayah dan pamannya masih sibuk mengurusi masalah ini dengan kepolisian setempat. Sementara kakek dan neneknya Kirana minta agar tetap di rumah saja.
"Apa, sih? Ribut banget," ucap Kirana, berjalan untuk duduk di sofa, membuat Fadel bangun dari posisi tidurnya.
"Aku udah buang angin, Ma. Berarti udah boleh minum, 'kan?" tanya Farel.
"Bentar, tanyain dulu," ucap Kirana, "Dave, tolong pencet tombolnya, dong," lanjutnya kala sadar Dave masih berdiri. Dave berjalan untuk menekannya, kemudian duduk di samping Fadel.
"Dok, saya udah buang angin. Boleh minum, 'kan?" tanya Farel saat dokter baru saja sampai.
"Beneran nih? Gak boongan?" tanya dokternya.
Farel berdecak. "Beneran! Tanyain Didi aja kalau gak percaya," belanya.
"Didi itu yang mana?"
"Saya, dok," sahut Fadel, "beneran, kok, dok. Saya saksinya."
"Ya sudah," ucap dokter, "tolong ambilkan minum, ya," pintanya pada perawat yang sedari tadi memperhatikan.
"Silakan, dok," ucap perawat, menyerahkan gelas plastik kecil pada dokter.
"Nih, seperempatnya dulu, ya," ucap dokternya.
"Dok? Dikit banget," protes Farel, yang dihadiahi tawa dari kedua adiknya. Sementara sang mama hanya terkekeh. Sedikit kasihan pada sulungnya, tetapi bagaimana lagi?
"Mau minum apa nggak?"
"Mau!" seru Farel. "Ya udah, iya."
Fadel menerima gelas kecil itu dari dokter, lalu berjalan menghampiri Farel dengan ranjang yang sedikit dinaikkan, membuatnya duduk.
"Perkembangannya baik. Semoga cepat sembuh, ya," ucap dokter sebelum keluar dari kamar rawat.
"Terima kasih, dokter," balas Farel.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Family, Aren't We?
Novela JuvenilIT'S BROTHERSHIP STORY, NOT BL❗ [BACA DULU FAMILY OR ENEMY, BARU BACA YANG INI] Family or Enemy Season 2 *** Hanya secuil kisah dan masalah setelah rahasia besar terbongkar, serta harap yang selalu mereka ucap. Farel yang akan terus bersedia menjadi...