24. The Twin is ... Back?

370 51 10
                                    

Siapa yang nungguin?

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Suasana hatinya tidak baik. Rasa kalut terus mengikut. Berusaha menepis semua kegelisahannya, remaja laki-laki berusia enam belas itu memilih menuju dapur untuk sekadar meminum air dingin di dini hari. Ada apa dengan kakaknya? Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya? Harapnya sederhana: semoga sang kakak baik-baik saja.

Diam sejenak sembari memikirkan keadaan kedua saudaranya, membuat ia pusing sendiri sebab berpikir negatif dan berlebihan. Akhirnya, remaja itu bangkit, berjalan menuju kamar adiknya kala ingat diberi amanah oleh sang mama untuk menjaga.

Dibukanya pintu kamar adiknya perlahan, takut sang adik terganggu. Ketika sampai di dekat ranjang, remaja berambut hitam itu memilih untuk memerhatikan adiknya yang tertidur menyamping membelakangi dan meringkuk. Tubuhnya yang terbalut selimut membuat dia terlihat kecil.

Helaan napas terdengar. "Dave, jangan nyerah, ya," gumamnya berharap. Lagi, hanya harap yang bisa ia ucap.

Fadel menidurkan dirinya di samping Dave, berniat untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Sudah berganti posisi berkali-kali, tetapi matanya masih tidak bisa terpejam lagi. Sudahlah, mungkin ia akan diam saja sambil menunggu kantuknya datang.

Dave ternyata sudah terbangun sejak sebelum Fadel kembali ke kamarnya. Hatinya menghangat kala mendengar kalimat itu lolos dari mulut saudaranya. Ada setitik harapan yang bertambah. Keinginannya untuk sembuh, kembali naik.

"Fad, thanks for saying that. Iya, gue gak akan nyerah semudah itu," batinnya.

Agak lama, Dave kesal sendiri karena kantuk tidak menghampirinya lagi. Dibalikkan badannya, hingga kini ia bisa melihat kakaknya sedang bermain ponsel, sepertinya sedang bertukar pesan.

Fadel yang sadar jika saudaranya bangun, memilih untuk menyimpan kembali ponselnya. "Dari kapan lo bangun?" tanya Fadel, sekadar basa basi pembuka obrolan, tanpa menoleh.

"Belum lama," jawab Dave singkat dengan atensi terarah pada langit-langit kamar. "Kok lo yang di sini? Mama mana?" tanyanya, ingat jika tadi sang mama-lah yang menunggui.

"Ke rumah sakit."

"Jam segini? Siapa yang sakit?" tanyanya balik.

Oh, sepertinya adiknya ini tidak tahu-menahu mengenai sang kakak sulung, pikir remaja yang lebih tua beberapa menit itu. "Gege," jawab Fadel singkat membuat mata Dave membulat.

"Kenapa?"

"Gue juga belum tau, tapi kayaknya mendesak banget," jawab Fadel. "Lagian gege gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba pergi aja tadi. Mana udah malem," gerutunya.

Kakaknya itu kenapa? Apa yang menggangu pikirannya hingga keluar tanpa pamit? Tidak mungkin seorang Daffarel Zhu pergi begitu saja jika tidak ada hal yang menggangu, pikir Dave.

Remaja bermata teduh itu memilih untuk kembali diam. Pikirannya bergelut: haruskah dirinya meminta maaf sekarang karena sikapnya beberapa hari lalu atau nanti saja? Menunda tidak akan baik. Pun dengan Fadel. Ia merasa jika kalimatnya beberapa hari lalu menyakiti hati sang adik.

"Fad,"

"Dave,"

Dua saudara kembar itu memanggil bersamaan. Mereka menoleh, menatap satu sama lain hingga akhirnya terkekeh. Rasanya sudah sangat lama mereka bisa seperti ini, padahal hanya beberapa saling mendiamkan dan menghindar---lebih tepatnya salah satu.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang