Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.
Selamat membaca
•••
Cakrawala yang menggelap tidak menjanjikan rumah sakit tenang. Meski waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul sembilan, kesibukan tetap terlihat di sana. Terlebih, setelah mendapatkan panggilan akan ada ambulans yang sampai dalam beberapa menit.
Ambulans datang, segera mengeluarkan pasien satu dengan luka tikam. Sementara, satu mobil yang mengikuti membawa pasien lainnya. Bergerak dengan cepat, satu ranjang sampai untuk membawanya.
Hayden memilih memarkirkan mobil tidak jauh dari pintu masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD). Risau akan kondisi kedua putranya, ia berlari masuk ke dalam IGD selepas mobilnya terparkir sempurna.
Pria itu mendudukkan diri di kursi dekat IGD selepas mengurusi administrasi. Tangannya menutup wajah, bermaksud agar tangisnya tak diketahui mereka yang berjalan melewati. Situasi seperti ini lagi, pikir Hayden. Kenapa lagi-lagi seperti ini?
Derap langkah yang mendekat tidak membuat Hayden mengubah posisinya. Pikirannya bertanya-tanya, siapakah pelaku di balik semua ini? Apa yang mereka inginkan dari putranya? Seingat Hayden, ia tidak memiliki hubungan buruk dengan pesaingnya. Jadi, rasanya tidak mungkin jika itu dari pesaing bisnis.
"Dengan wali dari pasien Daffarel Zhu?" Pertanyaan ini berhasil membuat Hayden mengangkat kepalanya.
Pria itu bangkit dari duduknya. "Ya, benar," jawab Hayden singkat.
"Pasien membutuhkan operasi, mohon untuk menandatangani ini sebagai persetujuan mengikuti prosedur rumah sakit." Kalimat yang dilontarkan perawat bak kilat di mendung. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat sebab terkejut.
"Operasi?" tanya Hayden pelan.
Perawat itu mengangguk. "Luka tikamannya cukup dalam. Apa bersedia?" tanyanya, mengalihkan Hayden yang sedang melamun.
"Y-ya. Lakukan terbaik," balas Hayden, menandatangani kertas yang disodorkan.
"Saya permisi."
Tak lama setelah menandatangani, ranjang sang sulung melintas di hadapan. Kondisi Farel benar-benar membuat hatinya hancur. Masker oksigen bertengger, serta pakaian dan ranjang yang dipenuhi darah.
"Farel," gumam Hayden, menatap kepergian putra dan paramedis menuju ruang operasi.
Berdirinya merosot. Tembok menjadi sandaran. Lututnya dipeluk. Derainya menetes, menunjukkan sesakit apa hatinya melihat ini semua.
Getaran dari gawai mengajaknya kembali ke dunia nyata. Nama "Kirana" tertulis di sana. Tidak berniat mengangkatnya, pria itu malah membiarkan gawainya bergetar. Ia ... tidak siap memberitahukan kondisi dua putra pada yang tercinta.
Getaran singkat diterima, beberapa pesan masuk. Tidak ingin membuka, Hayden hanya melihat lewat notifikasi.
Kirana
Mas, gimana?
Mereka gak apa-apa, 'kan?
Kalian sekarang di mana? Kenapa lama?
Mas, tolong jawab.Merasa tidak pantas jika terus abai, Hayden akhirnya membalas pesan singkat penuh kekhawatiran itu.
Rumah sakit
Jawaban satu balon pesan itu berhasil membuat sang istri di seberang sana risau. Butuh kepastian akan kondisi kedua putranya, Kirana kembali menelepon. Beberapa kali juga Hayden matikan, hingga ia merasa kesal sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Family, Aren't We?
Roman pour AdolescentsIT'S BROTHERSHIP STORY, NOT BL❗ [BACA DULU FAMILY OR ENEMY, BARU BACA YANG INI] Family or Enemy Season 2 *** Hanya secuil kisah dan masalah setelah rahasia besar terbongkar, serta harap yang selalu mereka ucap. Farel yang akan terus bersedia menjadi...