6. Dave, hold on

584 69 2
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

●●●

Sang surya sudah mulai tenggelam, langit mulai menjingga, lampu di rumah-rumah mulai dinyalakan. Tetapi, itu tidak membuat dua cowok kembar fraternal itu terganggu. Mereka masih asyik merebahkan diri di atas kasur milik si adik. Si kakak yang memejamkan mata sambil bertanya pada si adik dan si adik yang bermain ponsel sambil menjawab pertanyaan si kakak.

Si adik terus merubah posisi rebahannya, membuat ranjang berderit. Awalnya, si adik berniat mencari posisi enaknya, tetapi ia merasa tidak enak badan. Si kakak yang kesal pun menoleh dan menatap ke arah adiknya itu.

Fadel berdecak. "Lo bisa diem gak sih, Dave?" tanya Fadel mulai jengkel.

"Gimana gue dong, kasur-kasur gue. Lo yang harusnya balik ke kamar," celetuk Dave, berhenti mencari posisi enaknya. 

Fadel hanya menatapnya jengkel. "Eh, acara sekolah kemarin seru gak sih menurut lo?" tanya Fadel, mengalihkan pembicaraan.

"Seru. Banget malah." Ya, Dave akhirnya mendapat izin setelah berbagai macam cara. Tentunya dengan bantuan Jayden, mengingat Jayden selalu berpihak pada putra dan ponakannya.

"Capek?"

"Capek sih, tap—"

"Udah gue bilang lo jangan sampe kecapekan," potong Fadel menatap Dave kesal.

"Biasa doang sih itu," sanggah Dave mengibaskan tangannya.

"Lo gak minum obatnya, 'kan?"

Si adik diam tidak menjawab. "Heh!"

"Mi–num lah!" Tentu saja berbohong. Ia terlalu asyik dengan acara sekolahnya, membuatnya melewatkan apa yang tidak boleh ia lewatkan.

"Kapan? Kok gue gak liat?"

"Emang segalanya harus lo ketahui gitu?"

"Gue kakak lo kalo lo lupa."

"Dan gue tau lo itu siapanya gue. Jadi gak usah dibilangin lagi."

Si kakak mendengkus mendapat jawaban seperti itu. Diam cukup lama, hanya suara angin yang terdengar. Tetapi, pada akhirnya Fadel memilih membuka pembicaraan lain. "Pernah bayangin gak sih kalau kita gak kepisah?" tanya si kakak tanpa membuka matanya.

Dave diam. Mengapa juga saudaranya ini harus bertanya hal itu? Bukankah saudaranya sangat menghindari topik pembicaraan ini? Ah sial, rasa bersalahnya kembali lagi.

"Kenapa gue harus gini sih?" batin Dave, "kenapa gue lahir dan sakit?" batinnya melanjutkan.

Andai saja ia baik-baik saja. Andai saja ayahnya tidak berpikir pendek dengan menitipkan saudaranya pada orang lain. Andai. Hanya berandai-andai, dan itu sangat mustahil terjadi.

"Dave?" panggil Fadel, membuat si pemilik nama bergumam, "ah, sorry, gue lupa kalau lo paling ngehindari topik ini," lanjutnya.

"Kapan gue bilang gitu?" tanya Dave, mengingat dirinya tidak pernah memberitahukan hal itu.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang