36. Not That Easy, My Friend

248 42 5
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Angin yang berembus dari jendela yang terbuka membuat remaja itu menarik lagi selimutnya sampai menutupi kepala. Sejuk, tetapi juga dingin. Tidak bisa kembali memejamkan mata, ia mendudukkan diri di atas ranjang. Tangannya meraih gawai yang disimpan di nakas. Baru pukul 5.10. Oh, daya baterainya juga sudah 100%.

Pikiran remaja itu berkelana di pagi ini. Apakah hari ini ia harus pergi ke sekolah? Bagaimana reaksi teman-temannya nanti di sekolah? Oh, apa teman-temannya sudah mengetahui rahasianya?

Napas diembuskan perlahan. Kesal dengan diri sendiri yang sudah berpikir berlebih di pagi hari. Tangannya mengusap wajah, lalu berdiri menuju kamar mandi untuk sekadar mencuci wajah.

Melalui pantulan di cermin, ia melihat wajahnya yang tampan. Rambut hitam, hidung mancung, mata teduh, dan alis tebalnya selalu menjadi yang terfavorit. Terkekeh kala menyadari setampan apa dirinya.

"Emang ganteng banget gue. Tapi sayang, kadang takdirnya gak sebaik itu," gumamnya, diakhiri decakan canda. "Gak apa-apa, yang penting gue ganteng."

"Pede banget gue. Well, lagi-lagi, gak apa-apa, sih, yang penting gue ganteng," gumamnya lagi, lalu berjalan keluar kamar mandi.

Bersamaan dengan dirinya yang keluar dari kamar mandi, pintu kamarnya dibuka, menampakkan sang mama yang hendak membangunkan.

"Eh, udah bangun," ucap Kirana.

"Kebangun. Anginnya dingin banget," jawabnya.

"Ya udah, siap-siap buat sekolah. Kalau udah siap, ke bawah, ya," ucap Kirana, meninggalkan putranya yang masih berdiri.

"Ma," panggil Dave, membuat Kirana kembali berbalik. "Dave gak mau ke sekolah. Dave gak mau tau reaksi temen-temen kalau tau," lanjutnya, memaparkan alasan.

"Gak akan aneh-aneh, percaya sama Mama. Sekolah, ya," bujuk Kirana.

Dengan berat hati, ia pun menjawab, "Hao ba."

•••

Tiga saudara itu berangkat diantar sang ayah. Ya, akhirnya Farel kembali ke sekolah. Sudah lama sekali ia tidak bersekolah. Sempat disuruh menggunakan kursi roda, tetapi langsung ditolak mentah-mentah dengan dalih, "Aku udah gak apa-apa. Jangan nyuruh pake kursi roda, nanti malah pada penasaran aku kenapa."

Tidak salah, memang banyak bukan orang yang penasaran jika hal tak biasa terjadi?

Fadel sampai mengantar sang kakak sampai ke kelasnya, hanya untuk memastikan Farel baik-baik saja. Farel tentu saja kesal, apalagi candaan teman kelas yang dilempar padanya.

"Wah, dianter adik sampe kelas, nih."

"Adik yang baik."

Semua candaan itu langsung terhenti kala Farel berucap, "Berisik banget, ya, anjir. Diem napa."

Sementara itu, Dave terus mengikuti ke mana pun si kakak kembar pergi. Namun, sekarang ia hanya diam di depan kelasnya, duduk di atas tembok, menghadap lapangan. Hatinya masih menguatkan diri agar tidak terpancing emosi jika Gassan mengungkit tentang sakitnya lagi.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang