21. A "Little" Secret Revealed

379 55 11
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Sikap si bungsu benar-benar berubah. Beberapa hari ini, tidak ada manja yang ditunjukkan olehnya. Semua keperluan ia lakukan sendiri. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Keluarganya? Tentu saja aneh. Di sekolah pun remaja laki-laki itu lebih banyak diam. Fokusnya menghilang, membuat nilainya menjadi kurang. Ketika ditanya pun, hanya menjawab, "Gak apa-apa, Dave udah gede, masa mau gitu terus."

Malam ini, ia lebih memilih untuk diam di kamarnya, melewatkan makan malam. Ia terus merenung: mengapa semuanya terjadi seperti ini? Mengapa banyak "korban" dari sakit sialannya itu? Hatinya sakit ketika mengingat semuanya. Sakit rasanya ketika dirinyalah yang melatarbelakangi semua masalah keluarganya. Bungsu dari tiga bersaudara itu menundukkan kepalanya dengan meja belajar sebagai tumpuan.

Tanpa disadari, sang kakak memasuki kamarnya, membawakan makan malam.

Ia mengangkat kepalanya, tangannya mengusap wajah. "Maaf. Maaf, Dave cuma jadi beban buat kalian," gumamnya. Farel yang ternyata berdiri di belakangnya itu hanya memerhatikan.

"Maaf, Dave jadi penyebab utama dari semua masalah kita."

"Maaf, tapi Dave juga pengen nyerah aja. Dave capek sama semuanya."

Mendengar kalimat itu, Farel menyimpan nampan di meja belajar dan langsung menarik tangan adiknya. Didekapnya sang adik yang sepertinya terkejut dengan kedatangannya. Sang adik tidak membalas, hanya napasnya yang terasa tidak teratur.

"Jangan nyerah, gue mohon," gumam Farel masih mendekapnya dengan erat seolah jika dilepaskan, adiknya itu akan pergi jauh. Dave tidak membalas dekapan saudaranya juga tidak menjawab apapun. Pikirannya masih mencerna apa yang terjadi. "Gue gak tau lo kenapa. Tapi, gue mohon jangan nyerah," lanjutnya.

Keduanya larut dalam dekapan itu untuk beberapa menit. Hingga akhirnya, Dave melepas depakan itu.

Mata Dave terkunci pada saudaranya, lalu menunduk memejamkan mata. Dave bersuara, "Gue capek, Ge. Gue capek sama semuanya." Ada nada putus asa dari kalimatnya.

"Dave---"

"Gue capek ngerasa bersalah terus. Di saat rasa itu mulai hilang, hal lain yang bikin gue bersalah malah muncul lagi. Kebahagiaan, ketenangan. I don't deserve it. Gue yang mengawali semua masalah ini.

"Gue yang bikin kalian harus pisah sama kita. Gue yang bikin kalian punya masa lalu yang kurang baik. Semuanya gara-gara gue. Hidup gue cuma ngerepotin kalian," ucap Dave sekaligus memotong kalimat kakaknya.

"Dave," panggil Farel, berjalan ke samping adik bungsu, lalu merangkulnya. "Gue gak tau maksud dari nyerah lo apa. Gue gak tau maksud dari semua kalimat lo. Tapi, Dave, lo pantas buat bahagia. Lo mikir kalau hidup lo cuma repotin kita? Sekarang lo pikir, kenapa kita mau lo repotin? Jawabannya cuma satu: kita semua sayang sama lo," lanjut Farel, membuat Dave kembali meneteskan air matanya.

"Ge, banyak yang jadi "korban" karena gue. Termasuk lo dan Fadel," lirih Dave.

"Ubah pikiran lo. Buka pikiran lo. Sekarang gue tanya. Berapa banyak orang yang bahagia sama kehadiran lo? Banyak, Dave."

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang