7. I won't ever leave you

632 75 2
                                    

It's 1200+ words! Enjoy!!!

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, klik ikon bintang di sisi kiri bawah.


Selamat membaca

●●●

Hari sudah berganti, tetapi remaja manis itu masih saja tertidur dengan nyenyaknya. Sang kakak bertanya di mana kedua adiknya itu. Bukan, lebih tepatnya memastikan. Iya, si tertua melihat semuanya kemarin. Si tengah tidak pulang ke rumahnya barang semenit saja. Ia merasa bertanggung jawab atas yang menimpa adiknya ini.

Tetapi, ia tetap sekolah---Hayden membawakan perlengkapan sekolah milik Fadel, untung saja ia sudah menyiapkan buku-bukunya---, karena sialnya, hari ini ada ulangan.

Baru saja ia sampai di sekolah, ternyata sang kakak juga baru sampai. Membuatnya mau tidak mau harus mendapat pertanyaan dari sang kakak.

"Lo dari mana? Dave mana?" Fadel diam. Tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin 'kan jika ia memberitahu yang sebenarnya?

"Di," panggil Farel.

"Rumah sakit. Dave sakit." Jawaban Fadel membuat Farel refleks berhenti berjalan dan menahan tangan sang adik.

"Sakit apa?"

"Kurang tau. Kemarin sore dia ngeluh pusing, pas gue ke kamarnya malah udah pingsan."

"Lo bohong, Di, kenapa lo bohong?" batin Farel. Kemarin sore, ketika dirinya berniat menghabiskan waktu bersama kedua adiknya di kamar si adik bungsu, ia melihat semuanya. Bagaimana adik pertamanya begitu panik dan kedua orang tuanya sama-sama panik.

"Balik sekolah langsung ke sana," putus Farel berpura-pura tidak tahu yang langsung berjalan mendahului Fadel.

Fadel hanya menatap punggung sang kakak yang semakin menjauh. Ada rasa bersalah karena telah membohonginya. Remaja berahang tegas itu menghela napasnya, lalu melanjutkan jalannya. Bingung harus apa.

Berapa banyak rahasia yang ia sembunyikan dari sang kakak? Bagaimana ia akan memberitahukan sang kakak? Apa kakaknya bisa percaya padanya atau malah tidak akan percaya lagi? Ah sial, mengapa pemikiran sendiri lebih mengerikan.

"Ge, duibuqi," batin Fadel.

Memasuki kelas dengan lesu, Fadel langsung duduk di bangkunya. Matanya menatap meja Dave yang terpisah beberapa bangku darinya. Setelahnya, ia memilih menundukkan kepalanya.

Selama pelajaran, Fadel tidak bisa fokus. Pikirannya berkelana pada saudara kembarnya; bagaimana keadaan dia sekarang? Juga, pikirannya berkelana pada sang kakak; apa yang akan kakaknya rasakan jika mengetahui semuanya?

"Fad," panggil teman sebangkunya; Freya.

"Fadel!"

"Raffadel!" panggilnya lagi sembari memukul pelan lengan yang dipanggil, membuat sang pemilik nama akhirnya menoleh setelah mengerjapkan mata.

"Hm?" Hanya dijawab gumaman, setelahnya kembali mengalihkan pandangannya.

"Lo gak istirahat gitu?"

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang