Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.
Selamat membaca
•••
Bel tanda hampir habisnya waktu istirahat tidak dihiraukan oleh kedua bersaudara itu. Keduanya masih duduk diam tanpa ada yang membuka suara. Setelah sang adik yang tiba-tiba terkena serangan panik lagi, sang kakak enggan untuk meninggalkan. Takut jika sang adik seperti tadi lagi ketika dirinya tidak di sampingnya.
Ini sudah sangat lama sejak mereka berhenti untuk penyembuhan traumanya, dan saat itu, keduanya sudah dinyatakan sembuh. Apa mungkin adiknya hanya berpura-pura? Jika iya, adiknya benar-benar pandai menyembunyikan fakta.
"Di," panggil si kakak, menatap ke adiknya yang asyik memandangi bangunan sekolah yang tepat berada di depannya. Si adik hanya bergumam sebagai jawaban jika dirinya mendengar panggilan kakaknya itu, "dari ... kapan lo gini lagi?" tanyanya. Ragu sebenarnya, takut jika adiknya tidak nyaman, tetapi remaja tampan yang satu tahun lebih tua itu harus tahu.
"Apa lo bakalan percaya sama jawaban gue? Apa lo gak akan nyalahin gue?" Si adik malah bertanya balik tanpa menoleh ke arah kakaknya. Ia khawatir jika dengan memaparkan apa yang sebenarnya ia rasakan malah membuat semuanya lebih kompleks.
"Maksud lo?" tanya Farel.
"Jawab pertanyaan gue, Ge," ucapnya.
Farel diam. Ia menimang risiko dari dua jawaban. Jika iya, berarti ini bukan biasa saja, dalam artian, ini bisa jadi satu hal yang ditutupi adiknya. Jika tidak, adiknya pasti akan memilih berbohong.
"Gimana?" tanya Fadel.
Farel menarik napasnya, lalu menjawab, "Iya. Iya, gue percaya sama lo. Iya, gue gak akan nyalahin lo."
Fadel menatap kakaknya yang sedang menatap ke depan. Merasa ditatap, Farel menoleh ke arah adiknya yang sekarang malah menunduk. Sepertinya, ini saat yang tepat untuk memberitahu kakaknya mengingat kakaknya itu sudah sadar dengan sikapnya. "Dari awal, gue belum ngerasa sembuh, Ge. Gue cuma ngerasa diobati, tapi gak tuntas yang sialnya luka itu malah semakin membekas," balas Fadel menelan salivanya sulit.
"Lo ... bohong waktu itu?" tanya Farel memastikan, "bilang ke gue kalau lo gak bohong waktu itu." Di pikirannya; jika iya, berarti ia benar-benar tidak peka dengan semuanya. Pantaskah dirinya dipanggil kakak?
Ia mengangkat kepalanya. "Sayangnya iya. Iya, gue bohong waktu itu," timpal Fadel, membuat kakaknya menghela napas. Selalu bersama tidak membuatnya mengetahui semua hal dari adiknya. Ia merasa tidak pantas dipanggil kakak.
"Tapi, kenapa, Di? Kenapa lo bohong?" tanya Farel mengusap wajahnya, "apa lo gak mikir kalau nainai sama yeye ngelakuin itu buat kita?"
Dulu, ketika mereka masih di China dan tinggal bersama Zhenan dan Lian, mereka menjalani pengobatan untuk kesembuhan traumanya. Those two grandparents realised that there's something wrong with their grandsons. And that's right, their two grandsons have traumas.
Bagaimana dengan Hayden dan Kirana? Hanya Hayden yang menyadari hal tersebut. Beberapa kali pria tampan itu menangkap sikap kedua putranya yang gelisah, bahkan terkadang menangis tiba-tiba.
Fadel kembali menunduk, menyadari betapa bodohnya ia berbohong saat itu. "Karena dulu gue terlalu tau diri kalau di sana kita numpang, dan bukan anggota keluarga mereka. Gue gak enak ke mereka," cicitnya.
Farel terkekeh miris. "Tapi ternyata kita anggota keluarga mereka," ucapnya.
Keduanya diam. Adiknya terlalu dewasa di umurnya yang baru menginjak umur delapan. Tidak ada yang tahu, sang kakak jauh di lubuk hatinya juga merasa tidak enak, tetapi ia ingin sembuh. Maka dari itu, Farel lebih memilih untuk menekan rasa tidak enaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Family, Aren't We?
Novela JuvenilIT'S BROTHERSHIP STORY, NOT BL❗ [BACA DULU FAMILY OR ENEMY, BARU BACA YANG INI] Family or Enemy Season 2 *** Hanya secuil kisah dan masalah setelah rahasia besar terbongkar, serta harap yang selalu mereka ucap. Farel yang akan terus bersedia menjadi...