Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.
⚠️ harsh word, slapping
Selamat membaca
•••
"Wish that I could build a time machine. So, I could see the things no one can see."
Waktu terus berputar, tak peduli apa yang terjadi. Semua yang terjadi, pasti akan berlalu. Dan semua yang berlalu, akan berubah wujud menjadi kenangan dalam ingatan. Lalu, semua kenangan dalam ingatan akan menjadi pelajaran hidup.
Perlakuan tak menyenangkan yang sempat ia lakukan akhirnya berlalu menjadi kenangan ... juga pelajaran. Hal yang bisa diambil adalah pentingnya pengontrolan emosi dan mendengarkan cerita tidak hanya dari satu sudut pandang.
Malam ini di kursi belajar, remaja itu hanya memutar-mutar gawai yang belakangnya sedikit kembung sebab ada uang di dalam casing. Mengembuskan napas pelan, lalu menidurkan kepalanya di meja belajar dengan buku sebagai tumpu.
Diraihnya gawai, lalu duduk dengan tegak. Tangannya menari di atas layar, mengukir pesan untuk disampaikan pada yang jauh di sana. Netranya melihat nyamuk hinggap di tangan kiri, membuat remaja berusia tujuh belas tahun itu refleks menepuk kencang tangannya. Gawai yang digenggam terjatuh begitu saja mengenai kakinya---setelah sempat ia coba tahan agar tidak terjatuh---membuat ia meringis.
Meraih gawai, lalu mengecek, matanya seketika membulat kala pesan singkat tak tamat itu terkirim. Panik, ia langsung menghapus pesan yang dikirim pada room chat sepi yang obrolan terakhirnya sebulan lalu. Namun, sebab panik, ia tidak sadar jika dirinya salah memencet opsi.
Embusan napas lega terdengar pelan. Ah, setidaknya sudah terhapus sebelum dibaca. Pikir remaja itu.
"Lo mau sampe kapan, sih, di sana?" gumam remaja yang paling payah dalam panahan di antara saudaranya itu.
"Lo betah di sana?"
"Atau lo lebih nyaman kayak gini? Jauh dari gue sama gege?"
"Lo ... baik-baik aja, 'kan?"
"Gege butuh lo, gue ... juga butuh lo. Ayo balik," pintanya, menatap bingkai tiga remaja dengan berbalut jas hitam di depan kolam renang sebuah hotel; foto yang diambil saat ikut sang ayah pada pertemuan.
Telepon masuk mengalihkan atensinya. 哥哥 tertulis di sana. Keningnya mengernyit. Ada apa menelepon? Jempolnya menggeser ikon hijau ke atas, menjadikan telepon tersambung.
***
Sudah dua hari sejak si bungsu pergi sementara dari tanah air, sudah lebih dari satu minggu sejak itu terjadi. Namun, masih belum ada perkembangan signifikan dari yang masih tertidur.
Tenang rasanya sudah lama tidak ia rasakan. Gelisah setiap saat, lah, yang terus ia rasakan akhir-akhir ini. Lagipula, siapa yang tidak akan khawatir jika orang tersayangnya masih belum pasti kapan akan bangun?
Si tengah streaming film dari gawai sebagai pelipur resah dengan volume sangat rendah. Melihat pergerakan kecil dari sampingnya, ia refleks menoleh, mengabaikan film yang masih terputar.
"Mama, Papa," panggil Fadel, membuat keduanya sama-sama menatap ke mana mata sang putra melihat.
Lenguhan kecil terdengar sebentar. Sepertinya saat ini, mata Fadel benar-benar berbinar. Tanpa sadar, tangannya langsung menggenggam tangan sang kakak.
Mata yang lama tertutup itu terbuka perlahan. Kerjapan berkali-kali dilakukan sebagai penyesuaian. Tangan yang digenggam, dikepalkan kala menyadari lagi-lagi di tempat asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Family, Aren't We?
Fiksi RemajaIT'S BROTHERSHIP STORY, NOT BL❗ [BACA DULU FAMILY OR ENEMY, BARU BACA YANG INI] Family or Enemy Season 2 *** Hanya secuil kisah dan masalah setelah rahasia besar terbongkar, serta harap yang selalu mereka ucap. Farel yang akan terus bersedia menjadi...