25. Pressing Ego

318 43 15
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

⚠️ Harsh word

Selamat membaca

•••

Dua remaja kembar itu memilih tempat duduk paling ujung karena hanya itu yang tersisa. Tak apalah, setidaknya mendapat tempat duduk. Mereka langsung mendudukkan diri bersampingan---ingin menyandar ke tembok dan memerhatikan aktivitas di kantin sekolah.

"Penghamburan tempat tau gak sih?" gerutu Dave, kesal dengan para siswa yang duduk dengan acak dan tidak rapi. "Gak apa-apa kali semeja sama yang lain juga. Liat tuh, ini kepake dikit, sana kepake dikit juga," lanjutnya, menunjuk sekitarnya menggunakan dagu, membuat si kakak terkekeh tanpa membalas gerutuannya.

Baru saja menikmati makanan, ujung mata Fadel menangkap pergerakan tak biasa dari adiknya. Berniat akan bertanya, tetapi tangannya langsung digenggam dengan erat oleh sang adik yang sekarang menunduk dengan meja sebagai penyangga kepala. Ringisan kecil terdengar, membuatnya yakin jika adiknya tidak baik-baik saja.

"Dave, kenapa?" tanya Fadel berusaha tenang.

Bukannya menjawab, tangannya malah diggenggam lebih erat, membuatnya sedikit meringis karena ngilu tulangnya seperti bergeser. Tangan yang terbebas, ia gunakan untuk menyentuh bahu adiknya.

"Sakit, Ge," lirih Dave dengan napas yang tidak beraturan, terlihat dari bahunya yang naik turun.

"Ke UKS yuk! Atau pulang aja deh," saran Fadel.

Beruntunglah mereka karena memilih tempat duduk paling ujung, menjadikan tidak siswa atau pedagang kantin yang menyadari.

"Panggilan untuk Raffadel Zhu. Ditunggu di ruang kesiswaan secepatnya."

"Sekali lagi, panggilan untuk Raffadel Zhu. Ditunggu di ruang kesiswaan secepatnya."

Panggilan dari pengeras suara itu menghentikan kegiatannya. "Sialan, kenapa dipanggil sekarang sih?" batin Fadel kesal karena waktunya tidak tepat.

"Dave---"

"Ke sana aja dulu," ucapnya pelan masih menunduk. "Daripada kena hukuman lebih."

"Nggak. Ke UKS dulu. Ayo!" ucap Fadel, membantu adiknya berdiri, tetapi langsung ditepis.

"Jangan dipegangin!" tolak Dave kala sang kakak ingin memapahnya.

Sesampainya di UKS, Dave langsung menidurkan dirinya di ranjang paling ujung, tempat kesukaannya. Ada guru pembina dari ekstrakulikuler PMR di sana, membuat Dave mau tidak mau harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan guru itu.

Baru saja mendapat posisi nyaman, guru itu langsung menghampiri dan bertanya, "Sakit apa?"

Dave tidak menjawab, hanya memejamkan matanya untuk menahan sakit dan ringisannya. Tangannya mengepal.

Merasa jika adiknya tidak akan menjawab, Fadel memilih untuk membalasnya. "Pusing katanya, Bu."

"Suhu tubuhnya normal," ujar Bu Guru, selepas memeriksa suhu tubuh Dave. "Gak pura-pura, 'kan?" tanya beliau, ingat ketika pernah tertipu oleh salah satu muridnya.

Sementara remaja yang sedang berbaring itu memejamkan matanya lebih kuat, buku jarinya pun terlihat memutih dan urat di lehernya tampak. Tidak kuat, akhirnya remaja itu memunggungi guru dan kakaknya. Tangan yang semula mengepal langsung beralih pada dadanya. Ringisan kecil terdengar.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang