22. Then, what about now?

345 48 19
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

⚠️ harsh words, kidnapping, violence and fighting

Selamat membaca

•••

Remaja tampan itu menjalankan kuda besinya dengan kecepatan di atas rata-rata. Berkali-kali menyalip kendaraan yang dibalas umpatan oleh pengendara lain. Persetan dengan semuanya, ia hanya ingin menangis dan menenangkan diri.

Tidak menyadari adanya tikungan, tertua dari tiga bersaudara itu tidak bisa mengendalikan laju kendaraan, membuatnya terjatuh dan terseret beberapa meter. Dewi Fortuna sedang berada di pihaknya, karena ia hanya terseret dan mendapat luka di kakinya.

Fakta yang mengejutkan itu benar-benar membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Bukannya diam dahulu untuk memeriksa luka, ia malah langsung kembali melajukan motornya, tidak memedulikan luka yang menganga di kaki. Tujuannya hanya satu, mencari tempat sepi yang bisa dijadikan tempat menenangkan diri.

Taman sepi dengan lampu terang menjadi pilihannya. Matanya tak sengaja menoleh ke taman itu, dan sepertinya bisa menjadi tempat yang pas. Diparkirkan motornya sembarang, lalu berjalan terpincang menuju kursi besi.

Memori bagaimana dulu ia memerlakukan adiknya dengan tidak baik terputar. Rasa menyesal kembali menyerang. Apa yang sudah dilakukannya? Bagaimana bisa dirinya melakukan hal itu?

"Kenapa, Di? Kenapa kalian sembunyiin hal itu dari gue? Kenapa? Kalian gak percaya sama gue?" gumamnya, memejamkan mata, "kalian anggap gue apa? Gue kakak kalian, gue berhak tau atas sakitnya kalian," lanjutnya.

Air matanya kembali menetes. Sakit dan kecewa memenuhi relung hati. Ia tidak pernah menduga jika kedua adiknya pandai menyembunyikan fakta ini. Bagaimana sekarang? Apa kepercayaan pada keluarganya bisa diperbaiki?

"Shit, sakit banget," ucapnya pelan, merasakan dadanya yang terasa ditusuk jarum.

Kilas memori ketika dirinya bertengkar dengan sang adik bungsu, ketika dirinya terus-menerus merebut hak adik bungsunya kembali terputar bak kaset butut. Bagaimana dulu dirinya berusaha menyingkirkan adiknya dan hal-hal bodoh lainnya.

"Maaf. Maafin gue yang malah ngehambat sembuhnya lo," ucapnya, menatap hamparan rumput di malam yang gelap di hadapannya, "maaf, gue bukan kakak yang baik buat kalian," lanjutnya.

Angin malam menerpa kulitnya. Ringisan terdengar kala angin mengenai kakinya. Ah sial, dirinya baru ingat bahwa tadi ia jatuh dari motor. Diangkat kakinya ke kursi untuk memeriksa luka. Apa-apaan ini? Mengapa lukanya sangat perih?

Setelah berdiam cukup lama, remaja yang pandai menggambar itu bangkit. Sudah pukul sebelas. Pantas saja terasa sangat sepi dan ... sedikit mencekam. Sedang berjalan menuju motornya, ia merasakan ada seseorang yang mengikuti. Sial, kenapa bulu kuduknya berdiri?

Suara ranting yang patah karena terinjak membuat remaja itu refleks menoleh ke arah sumber suara. Belum sepenuhnya menoleh, seseorang memukul kepalanya dengan kayu dan langsung membekap mulutnya menggunakan---sapu tangan? Apa ini? Kenapa rasanya menjadi pening? Ia terus berusaha melepaskan bekapannya, tetapi tidak bisa, tenaganya seperti habis, lemas sekali. Hingga beberapa detik setelahnya, semua menjadi gelap.

•••

Wanita cantik yang baru saja menemani putra bungsunya untuk tidur itu tak sengaja menyenggol gelas yang tersimpan di nakas. Putra bungsunya mengerjapkan mata, terganggu dengan suara prang yang dihasilkan.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang