14. Three brothers' restlessness

343 57 15
                                    

Well, it was announce chapter.

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Tiga remaja tampan itu berjalan menuju halte angkot dekat sekolah, berniat menaiki angkot sebagai transportasi untuk pulang. Baru saja mendudukkan tubuhnya, angkot sudah datang membuat mereka langsung masuk. Bukankah mereka biasa mengendarai motor? Tentu saja, hanya tadi pagi sang ayah mengantarnya, mengingat hari ini dirinya akan kembali ke kampung halaman.

Setelah hari itu, hari di mana si bungsu mengungkapkan kekesalan kepada orang tuanya, keadaan rumahnya sedikit berbeda. Tidak ada berkumpul di depan televisi saat malam menyapa, tidak ada candaan ketika di meja makan. Ketiganya jelas tidak nyaman.

Selama di perjalanan, mereka hanya diam memerhatikan lalu lalang kendaraan dan penumpang lain yang naik, padahal di angkot itu juga ada beberapa teman sekolahnya.

Panas terik matahari menjadi pengiring jalan ketiga remaja itu. Seturunnya dari angkot, mereka perlu berjalan beberapa meter untuk sampai ke rumahnya. Teringat membawa topi sekolahnya, yang termuda langsung menghentikan jalannya, lalu memakai topi itu.

Sesampainya di rumah, mereka memilih langsung menuju kamarnya setelah menjawab pertanyaan sang mama; "Baru pulang?"

Si tengah sadar dengan semuanya. Kakaknya yang terlihat menghindar dan adiknya yang lebih banyak diam. Aneh. Apa mereka sembunyikan? Apa yang membuat mereka seperti itu?

Tidak mau menambah pikiran, ia lebih memilih untuk tidur siang setelah berganti pakaian. Berbeda dengan sang kakak yang malah berjalan keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun dengan membawa beberapa buku dan alat tulis.

Remaja itu menghela napasnya. Ingin bertanya, tetapi enggan mendengar balasannya, karena ia tahu, kakaknya pasti berbohong untuk saat ini. Matanya memejam berusaha untuk tidur.

Akhir-akhir ini, banyak sekali hal tak tertuga yang terjadi. Dimulai dengan dirinya yang ketahuan belum "sembuh", adiknya yang semakin gelisah, kakaknya yang terlihat lelah.

"Ada apa sih?" batinnya bertanya.

•••

Remaja berusia enam belas tahun itu menjatuhkan dirinya di kasur, membuatnya tengkurap. Pakaiannya belum diganti, masih seragam sekolah. Tangannya menyentuh dadanya yang berdetak lebih kencang.

Sudah bertahun-tahun dirinya berjuang, bolehkah dirinya menyerah sekarang? Ia sudah lelah dengan semuanya. Sudah cukup kakak-kakaknya yang menjadi korban. Keluarganya ... sudah mengorbankan terlalu banyak hal hanya untuk dirinya yang malah menyia-nyiakan.

Dibalikan tubuhnya, membuatnya menatap langit-langit kamar. Kapan waktu yang tepat untuk memberitahu kakaknya? Kapan dirinya siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi?

"Ge, maaf gue masih belum siap buat ngasih tau lo. Biar lo sendiri aja yang tau," batinnya.

Tidak mau menghabiskan waktunya dengan memikirkan hal tersebut, remaja bermata teduh itu bangkit untuk bergantian pakaian, lalu berjalan menuju halaman belakang.

•••

Remaja berambut agak kecokelatan itu mendudukkan dirinya di kursi rotan panjang halaman belakang. Disimpannya buku dan alat tulis yang dibawanya. Niat hati akan mengerjakan tugasnya, tetapi pikirannya masih penuh dengan kedua adiknya.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang