41. The Space Between Us: The Wall

283 49 33
                                    

Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.

Selamat membaca

•••

Mengabaikan tangan yang masih mengeluarkan darah, Dave berjalan cepat menuju kamar rawatnya. Pintu ditutup, ia duduk tepat di belakang pintu, sengaja ditahan agar tidak ada yang masuk.

Dave memeluk lututnya, menyembunyikan wajah di sana. Hatinya sakit sekali mendengar kalimat tak terduga dari orang yang paling ia percaya. Kakak yang paling ia andalkan, kakak yang merupakan tempat teraman baginya, kakak yang menjadi si segala baginya.

Air matanya meluncur deras, menunjukkan sesakit apa ia. Untuk saat ini, tak apa, kan, dirinya menangis seperti ini? Tak apa, kan, dirinya menyesal telah hadir ke dunia?

"Dave, buka pintunya. Ini Mama sama Papa," ucap Kirana, mengetuk pintu kamar. Dave memilih abai, tidak memedulikan panggilan yang terus tertuju padanya. Ia hanya ingin sendiri saat ini.

Napas Dave mulai terputus-putus. Oksigen dirasa menjauh. Remaja itu menengadahkan kepalanya, lalu menghirup oksigen sebanyak mungkin. Tangannya memukul dada ketika sakit kembali menyapa.

"Argh," ringis Dave, meremat dadanya kuat.

Sementara, di luar ruangan, ringisan yang terdengar membuat mereka bertatapan, menunjukkan khawatir yang mampir. Hayden mendorong pintu, tetapi sulit sebab posisi Dave yang berada di belakang pintu.

Bersamaan keadaan di sana mulai tidak kondusif, Randy lewat. Cukup terkejut dengan yang terjadi, ia berjalan menghampiri.

"Dave, tolong buka pintunya. Jangan gini," bujuk Hayden yang tidak mendapat balasan.

"Dokter, tolong bantu kami bujuk Dave," pinta Kirana, tahu bahwa putra dan dokternya cukup dekat.

Randy mengangguk, lalu mengetuk pintu. "Dave, ini gue, Randy. Tolong buka pintunya," bujuknya.

Berhasil! Cukup dengan satu bujukan, Dave membuka pintu. Segera, Randy masuk ke kamar rawat. Tangannya langsung menahan Dave yang terjatuh dengan mata yang memejam dan napas yang tidak beraturan.

"Dave," panggil Randy, menepuk pelan pipi Dave. Mendapat respons berupa ringisan, Hayden langsung menggendong bungsunya ke ranjang pesakitan.

Memasangkan masker oksigen, lalu Randy mulai memeriksa pasiennya. Infus kembali dipasangkan---Hayden membawanya. Dave mulai kembali tertidur setelah diberi obat yang dibawakan perawat.

Dengan cepat, Kirana berjalan menghampiri, tepat setelah semua pemeriksaan berakhir. "Dave, jangan gini," gumamnya.

•••

Hayden dan Kirana berjalan keluar kamar si bungsu, setelah memastikan jika putranya itu tertidur. Mereka harus mendengarkan alasan rasional dari si tengah setelah mengucapkan kalimat tadi.

Semakin dekat dengan ruang PICU, Hayden berhenti, menyandarkan diri ke dinding, lalu memejamkan mata dan mengatur napas.

"Tenang, Hayden, kontrol emosi lo," batin Hayden, membuka mata, lalu berjalan menghampiri sang istri yang sudah duduk di kursi sambil memijat pelipis di samping Fadel yang hanya duduk menatap pintu PICU. Berhasil menenangkan hatinya, Hayden berjalan, lalu duduk di samping Fadel.

"Kamu kenapa, sih, Fad?" tanya Kirana tetap fokus pada hadapan.

Pertanyaan Kirana berhasil membuat Hayden dan Fadel menoleh. Merasa jika Fadel menatapnya, Kirana balik menatap hingga mata mereka bertemu.

We're Family, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang